Setiap anggota tubuh kita memiliki hak,
hak untuk mengenal Al-Qur’an dan tercahayai olehnya.
Lisan kita memiliki hak untuk melantunkan ayat-ayatnya.
Mata kita memiliki hak untuk memandang indahnya rahasia bentuk huruf-hurufnya.
Telinga kita memiliki hak untuk mendengar lantunan kalam-Nya,
dan akal kita memiliki hak untuk memahami kehendak-Nya.
Penuhilah hak rakyat kita itu dengan adil, sesuai waktunya.
Dan keadilan itu, takkan bisa diraih kecuali melalui taqwa kepada-Nya.
(Guru saya)
: :
KALAU kita belum memahami Al-Qur’an, jujur sajalah. Kita masih bingung dengan Al-Qur’an, misalnya. Mengapa susunannya tak teratur dan melompat-lompat. Mengapa tidak terasa teduh setelah membaca Qur’an, atau setidaknya, Al-Qur’an baru menjadi sebuah keteduhan psikologis yang sementara, yang akan segera hilang indahnya beberapa jam kemudian.
Dengan mengakui itu, setidaknya kita masih memiliki kebutuhan untuk kita panjatkan pada Allah ta’ala, bahwa kita masih belum mengerti di mana ‘kemu’jizatan’ Al-Qur’an. Kita butuh untuk memahaminya lebih dari sekedar makna interpretatif tekstualnya–yang semakin banyak diminum, bisa jadijustru akan semakin membingungkan kita.
Itu sebuah bibit penghambaan pada Allah ta’ala: memiliki sedikit rasa yang nyata bahwa kita tidak mengerti apa-apa tentang kitab-Nya, apa lagi tentang Dia. Dari sini akan lahir kerinduan yang jujur dari hati, ingin memahami kitab-Nya, dan ingin mengenal-Nya.
Ini jauh lebih baik daripada memasuki pintu agama yang agung ini dengan sebuah siratan keangkuhan: bahwa aku memahami Qur’an, mampu berdalil dengannya, hafal surat-suratnya, dan terus saja mengindoktrinasi diri bahwa ‘aku telah mampu menjangkau makna Al-Qur’an dan Al-Qur’an telah berbicara padaku’.
Keyakinan semacam ini akan membuat kita cenderung memandang sebelah mata pada ‘golongan lain’ yang kita anggap ‘tak tersentuh hidayah’. Namun kita kerap lupa, bahwa Allah menjadikan apa yang di luar sebagai cermin diri kita: apa yang disimbolkan oleh ‘golongan lain’ itu pun sesungguhnya ada di dalam diri kita sendiri.
Keangkuhan tersembunyi semacam ini ada akibatnya: akan selalu ada bagian dalam diri kita yang tidak memiliki kerendahhatian seorang hamba.
Tidak mungkin seseorang bisa memasuki pintu menuju-Nya dengan tidak bersujud–sebuah sujud jujur yang berasal dari hati.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara, dan tiada menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Q. S. Al-Waaqi’ah [56]:77-79)
Ask yourself: Do I really understand Al-Qur’an? How badly is my thirst for it?
Selamat berhari Jum’at.
3 comments On Jujur Sajalah
Alhamdulillah, seringkali saat saya membaca tulisan mas HM, saya merasa seolah-olah baru tahu. Dan sering kali saya terinspirasi olehnya. suwun mas. Dan mohon ijin untuk membaginya ke teman lain
Subhalalah alhamdulillah
wah mas herry mardian sudah mulai memposting lagi, saya baru baca lagi artikelnya..
jadi semangat baca tulisan2nya…
Terima kasih Mas