Saat kulahir dari rahim ibuku
kedunguan dan kebodohan lahir bersamaku.
Saksikanlah: kedunguan adalah niscaya bagiku
dan kebodohan telah Dia tuliskan di dahiku.Dungu dan bodoh adalah jubahku
melihatnya, mereka yang merasa nabi akan lari dariku
dan para pengikutnya akan terbirit lari
melihatku, seperti wabahDungu dan bodoh adalah baju taqwaku
jubah yang kukenakan dihadapan-Nya
sebagai tanda kefakiranku:
aku membutuhkan Engkau, Tuhanku
jangan lagi murkai aku.
Kutunggu Isa yang sejati sepanjang umurku
untuk membangunkan aku dari kematianku
satu hembusan nafas ruh-Mu, ya Rabb,
akan membuat hatiku yang batu jadi telaga biruLarilah dariku, wahai kalian yang begitu yakin dengan ketakwaanmu!
menjauhlah, karena yang kuharapkan menghidupkan mayatku
adalah nafas Dia, yang tangan-Nya jualah yang menyematkan
kedunguan dan kebodohan dalam dadaku.Akulah dia yang mengenakan ‘dungu’ dan ‘bodoh’
dengan bangga: karena tanpa itu
takkan mungkin aku ‘kan pernah memanggil nama-Nya.“Ada api menyala dalam diriku,
walau ragaku pucat lusuh:
karena aku ‘kan membubung naik,
bagai asap, keluar menembus kurunganku.”(Herry Mardian, Maret 2012).
: :
33:72
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. 33: 72)
# Dua bait terakhir adalah kutipan puisi Jalaluddin Rumi.