Fenomena Keberagamaan dan Tashawwuf di Masyarakat Perkotaan

Oleh Alfathri Adlin, aktivis yayasan Paramartha dan editor penerbit Jalasutra
(makalah ini disampaikan pada diskusi ‘Spritualitas dalam Realitas Kebudayaan Kontemporer’; di Fakultas Seni Rupa dan Desain -Institut Teknologi Bandung, di Bandung, 2 Maret 2005).

 

Pada suatu hari, ada sebuah e-mail sampai pada saya:

Image hosted by Photobucket.com

Beberapa tahun sebelum menerima e-mail ini, pada saat buku-buku how to, self-help, atau do it yourself mulai marak di Indonesia, saya berkelakar dengan seorang sahabat, “Jangan-jangan sebentar lagi akan terbit buku berjudul Kiat Praktis Menjadi Sufi dalam 30 Hari.” Sahabat tersebut menimpali, “Dan, tidak lama kemudian, akan terbit buku dengan judul Kiat Praktis Menjadi Sufi Seminggu Lebih Cepat daripada Buku Terbitan Sebelumnya.” Kami berdua tertawa. Ternyata, dugaan kami salah semuanya. Yang muncul bukanlah buku, tapi lebih mengejutkan lagi, sebuah lokakarya. Dan kami juga salah, ternyata bukan dalam waktu sebulan, atau seminggu lebih cepat, tapi malahan hanya dalam sehari saja! E-mail tersebut memunculkan pertanyaan bagi saya: ada apa ini sebenarnya? Apakah karena sekarang adalah zaman instan, berarti seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan agama dan spiritualitas, bisa dijadikan instan juga? Apakah spiritualitas kini hanyalah salah satu kiat praktis (how to, self-help, atau do it yourself) dari sekian juta kiat praktis lainnya? Ataukah hanya sebuah terapi, dan bukan lagi praktik penempaan dan penempuhan jalan penyucian seumur hidup? Bagaimana dengan pencarian Tuhan seperti terdapat dalam kisah-kisah hikmah terdahulu? Apakah pencarian Tuhan tersebut sudah digantikan oleh gairah kepenasaran akan berbagai kiat praktis untuk mencapai pengalaman (seolah-olah?) spiritual?

Ada sebuah kisah nyata tentang perjumpaan dua manusia yang menjadi cikal bakal sebuah thariqat. Seorang pemuda yang mendapati banyak kegagalan dalam hidupnya, merasa dirinya tak berguna. Pada suatu hari, ia bercakap-cakap dengan seorang lelaki tua yang telah lama dikenalnya. Sekilas, tak ada hal yang istimewa pada lelaki tua tersebut. Di tengah percakapan, lelaki tua tersebut berkata, “Nak, setiap manusia itu membawa misi hidupnya masing-masing ke dunia ini.” Sang pemuda sangat terperanjat mendengarnya. Perkataan tersebut menyadarkan dan membakar kembali semangat hidupnya, serta memberinya harapan. Yang menarik adalah sang pemuda ternyata bisa mengenali bahwa duduk permasalahan kehampaan makna hidup berakar dari rahasia tentang misi hidup. Pemuda tersebut sebenarnya baru lulus SMA, dan bukan pengkaji filsafat. Hal yang menarik adalah alasan pemuda tersebut, dalam usianya masih sangat belia, bisa menyadari bahwa misi hidup itu inti dari perjalanan hidup dan agama. Bahkan perjumpaannya dengan lelaki tua bijak tersebut membuatnya membatin, “Tidaklah yang mengetahui rahasia besar seperti itu kecuali orang besar”. Permasalahannya, apabila ungkapan serupa diucapkan kepada seseorang yang tidak sedang mencari kesejatian hidup manusia di dunia, terperangkap kedalam kehidupan sehari-hari dan lebih sibuk mencari kiat cepat-praktis untuk segala hal, gandrung pada berbagai sensasi (seolah-olah?) pengalaman spiritual ketimbang tujuan sejatinya, lebih menghasrati berbagai wacana spiritual tapi enggan terjun ke praktik penempuhan jalan spiritualnya itu sendiri, maka perkataan tersebut bisa jadi tidak akan terasa istimewa dan mungkin berlalu begitu saja.

Memang telah banyak filsuf maupun agamawan yang menguraikan keunikan individu, namun jarang sekali yang menyentuh hingga permasalahan misi hidup serta cara menemukan dan menjalani misi hidup tersebut. Bahkan sebaliknya, dalam filsafat kontemporer seringkali penciptaan manusia itu diyakini tak ubahnya benih tanpa spesies yang dapat tumbuh menjadi pohon apa pun. Manusia semata-mata dipandang sebagai makhluk yang dicetak oleh lingkungan dan budayanya, tanpa kekhususan yang dibawa dalam dirinya sendiri; suatu faktisitas.1

Sedangkan tradisi spiritualitas agama-agama besar umumnya meyakini bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang ilahiah. Dan dalam banyak kisah pencarian Tuhan, seringkali tampak bahwa sang pencari memang memiliki tekad kuat yang tertuju langsung kepada Sumbernya, dan tidak mudah teralihkan kepada hal-hal lainnya.2 Pencarian-bertujuan-Sumber ini jugalah yang menuntun sang pemuda tadi untuk bisa mengenali isyarat dari ucapan sang ‘calon’ Mursyid.3

(Pos) Modernitas, Spiritual Quotient (SQ), Neurosis Noogenic

“Kulihat orang-orang terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini, dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi memompa gas, menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci supaya kita bisa membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar kita adalah perang spiritual. Depresi besar kita adalah hidup kita sendiri. Kita dibesarkan untuk percaya suatu hari jadi jutawan dan bintang rock, tapi sebenarnya tidak. Dan kita mempelajari fakta itu dan kita menjadi sangat marah.(Taylor Durden, “Fight Club”)

Sekelumit orasi yang dilontarkan tokoh Tyler Durden—yang diperankan Brad Pitt—dalam film “Fight Club” di atas memaparkan potret kegelisahan dan krisis makna hidup di masa kini. Krisis yang terjadi ketika konstruksi sosial diobjektivikasi kemudian diinternalisasi kepada setiap individu, namun ternyata tak memberikan jawaban yang memuaskan akan arah dan makna perjalanan hidup manusia. Umumnya, sebagian besar manusia terjebak kedalam kegilaan-dalam-semantik-baru, yaitu bangun pagi, pergi ke kantor, pulang, menonton televisi, kemudian tidur, dan terus berputar seperti itu hingga berakhir pada masa pensiun, masuk panti jompo, dan mati—terkadang diselingi pernikahan dan beranak pinak. Krisis makna hidup senantiasa melintasi setiap fragmen peradaban dan menyentuh setiap sisi roda sejarah dengan cirinya masing-masing. Sinisme Tyler Durden di atas sebenarnya memperlihatkan bentuk-baru-isi-lama dari krisis makna hidup di alam (pos)modern.

Hal lainnya yang menjadi ciri zaman sekarang adalah peran rasionalitas dalam segenap elemen kehidupan yang berakar dari berbagai pemikiran Renaissans. Secara pemikiran, modernisme dimulai di Eropa bersamaan dengan awal gelombang pasca Renaissans. Sebuah Pencerahan. Ia adalah Era Baru yang terlahir dari luka atas dominasi gereja yang membuat manusia terpenjara dalam dogma dan pikiran hidup untuk mati semata. Luka tersebut melahirkan antara lain moralisme sekuler, humanisme, individualisme, rasionalisme dan kepercayaan akan progresivitas atau kemajuan sejarah.

Kini, kepercayaan akan progresivitas tersebut telah menjelma menjadi kecepatan yang merupakan bagian dari obsesi modernisme, yaitu untuk mencapai the limit of experience, untuk senantiasa mencari kebaruan—asal kata modern sendiri berasal dari modo yang berarti ‘barusan’—hingga ujung ekstremnya. Seringkali belum selesai suatu produk modernitas dicerna, telah datang serangan gelombang kebaruan berikutnya.4 Berbeda dengan masyarakat modern yang disebut sebagai hot society oleh Levi-Strauss, cold society atau masyarakat tradisional hidup dalam perubahan yang lambat dan elemen-elemen peradabannya pun tidak sekompleks masyarakat modern, serta memutar siklus hidupnya dalam lingkaran tradisi yang berulang dan senantiasa dijaga kesuciannya. Namun, pandangan akan kemandegan di masyarakat tradisional sebenarnya juga terjadi di masyarakat modern dalam bentuk yang lebih sophisticated. Siklus tersebut bernama rutinitas hidup yang dilakukan dengan pengurasan energi secara intensif, baik dalam ritme linier maupun chaos, hingga mengkristal menjadi disiplin tubuh yang semakin halus serta menguasai kesadaran.

Segenap energi manusia modern dicurahkan untuk mencapai tujuan dan hasil yang selalu terwujud dalam bentuk yang ternyata jauh melampaui apa yang dipikirkannya. Pengurasan energi massal tersebut kemudian membentuk ritme yang secara kolektif mengkristal menjadi rutinitas kerja, yang menguasai tubuh-tubuh manusia modern, mengkonstruksi kesadarannya, menentukan arah tujuan beserta visinya untuk mencapai kebaruan, progres demi progres. Spesialisasi dan profesionalitas kerja, pada tingkatan lanjut, telah membuat manusia menjadi pekerjaannya itu sendiri, terobsesi dengan perjalanan karir yang akhirnya menjadi hidup dan matinya. Pekerjaan dan karir seakan menjadi harapan ultima, sumber makna hidup, alasan keberadaan di muka bumi bagi tubuh-tubuh modern yang didisiplinkan dalam ritme produksi-konsumsi. Marx pernah mengingatkan masalah ini dalam pandangannya mengenai alienasi. Semangat untuk senantiasa membuat kebaruan dalam modernisme—yang berakar dari kepercayaan akan progresivitas sejarah—pada akhirnya mencapai kebuntuan.

Di sisi lain, rasionalitas sebagai anak Pencerahan seringkali berposisi sebagai penjelas tunggal dari segala permasalahan kemanusiaan. Rasionalitas tak ubahnya bola yang segenap permukaannya menghadap ke segala arah. Rasionalitas mencoba menjawab kembali semua pertanyaan yang selama ini dianggap telah disediakan jawabannya oleh agama. Namun, rasionalitas—dengan filsafat modern sebagai ujung tombaknya—tetap berdiri pada “tubuh sebagai landasan material” dalam penalarannya dan menolak adanya hierarki realitas. Selain itu, rasionalitas juga kerap kali menolak semua klaim universalitas namun diam-diam mentahbiskan dirinya sebagai Sang Universal untuk menilai segala hal, atau mengkritik sesuatu sambil mengambil posisi aman kebal kritik (semacam performative contradictions). Maka tampillah posmodernisme sebagai reaksi terhadap permasalahan tersebut.

Posmodernisme—walau belum bisa dikatakan sebagai era tersendiri—muncul dalam tiga wilayah dengan cirinya masing-masing. Dalam bidang seni, posmodernisme muncul karena kebuntuan akan kebaruan—yang menjadi semangat seni modern—hingga mencapai titik ekstrim dan nihilitasnya. Setelah seorang seniman memamerkan kotorannya sendiri di galeri, atau seniman yang menembak kepalanya sendiri pada puncak pertunjukannya, atau juga ‘sampah-sampah’ yang disusun dan dipamerkan di galeri menjadi karya seni bernama instalasi, maka yang terjadi adalah absurditas dan nihilisme dari seni itu sendiri terutama pada nilai serta arti dari kata “estetika”. Seni pun kemudian mencampur-adukan berbagai gaya dalam satu karya seni untuk menciptakan kebaruan. Dalam wilayah filsafat muncul kekecewaan atas proyek Renaissans yang ternyata menghasilkan dua kali Perang Dunia, genocide, dan berbagai peristiwa di mana kemanusian diinjak-injak. Selain itu, adanya dominasi Narasi Besar di segenap kebudayaan telah membangkitkan penghargaan terhadap narasi-narasi kecil yang selama ini terpinggirkan. Semiotika pun menolak makna tunggal yang kaku dan beku, digantikan dengan sebuah kenikmatan akan penandaan yang terbuka dan kreatif. Sedangkan dalam wilayah sosial muncul fenomena hiperealitas serta konsumerisme yang mencapai titik ekstrimnya, yaitu ketiadaan makna. Masyarakat yang dikuasai dan didikte oleh media, memuja tubuh dan kemajuan dalam bentuk konsumsi atas produk-produk terbaru serta fashion, tenggelam dalam ekstase informasi. Hal tersebut menjadi semacam modus baru banjir bandang Nabi Nuh.

Keberhasilan posmodernisme, ternyata hanya terjadi pada penampakan luarnya saja. Bahkan dapat dikatakan bahwa posmodernisme terjerembab hanya menjadi ekstremitas dari modernisme. Setelah kehilangan makna dalam kehidupan modern yang mendasarkan diri pada rasionalisme habis-habisan, manusia malah terjebak pada ekstrimitas berikutnya, yaitu, materialisasi segenap hasrat menjadi hasrat kebendaan ekstrim yang diangankan dapat membebaskan manusia dari represi psikis sehingga meraih kebahagiaan.

Di sisi lain, agama yang diyakini banyak orang dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia, kini kerap kali tampil dalam jubah formal, dalam status sosial belaka. Bahkan ajaran-ajarannya pun dianggap surut menjadi sekadar aspek-aspek ritual formal yang dangkal dan tanpa visi. Lalu muncullah New Age sebagai tawaran jalan keluar dari kehampaan makna, tanpa jubah eksklusivitas dan simbol agama tertentu. Banyak juga yang mengikutinya: bermeditasi, yoga, bertirakat atau mengikuti kajian-kajian spiritual lintas agama. Sayangnya, hal itu lebih tepat dikatakan sebagai terapi dan wacana ketimbang spiritualitas murni. Spiritualitas menuntut kesungguhan sepanjang hidup, keberserahdirian total tanpa syarat, bukan sekadar obat di kala gundah, pelarian di kala risau, dan pemuas intelektualitas.

Selain itu, baru-baru ini—setelah kemunculan IQ dan EQ—muncul sabda mutakhir dari wacana Barat berupa SQ (Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual) yang diklaim sebagai kecerdasan ultima. SQ, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, adalah kecerdasan yang membuat manusia dapat memaknai hidupnya menjadi lebih berarti. Konsekuensi halus tak teraba dari SQ ini adalah bahwa SQ lebih tampak sebagai suatu upaya terapi bagi diri yang kehilangan makna hidup. Bahkan, pemaknaan tersebut dapat pula berlangsung dengan suatu cara yang arbitrer, karena pada dasarnya Zohar dan Marshall sama sekali tidak berbicara mengenai sesuatu yang spiritual (dalam pengertian yang berkaitan dengan ketuhanan maupun keberagamaan). Kemunculan kecerdasan ketiga ini ternyata cukup mendapatkan sambutan dan antusiasme dari khalayak Indonesia yang tampaknya sedang dan selalu menanti pengakuan terhadap spiritualitas dari (wacana) Barat. Berbagai tulisan mengenai SQ ini pun marak di media-media cetak, selain rangkaian seminar atau kursus tentang hal ini. Bahkan posting e-mail di awal tulisan ini pun memberikan tawaran “Melejitkan kecerdasan spiritual (SQ) dengan membuka akses langsung ke sumber SQ itu sendiri.” Permasalahannya, apa yang mau diolah dari SQ kalau landasan epistemologisnya lebih terkesan mengada-ada.

SQ adalah kecerdasan akan proses pemaknaan yang tidak memiliki hubungan penting dengan agama. Suatu kecerdasan yang tidak hanya mengenali nilai-nilai—dan tentunya pula makna—yang telah ada, namun juga kreatif dalam menemukan kebaruannya. Namun, dalam masyarakat kontemporer, pembalikan dan penemuan hal-hal baru adalah sesuatu yang lumrah terjadi dan seringkali subversif, karena—meminjam istilah Deleuze dan Guattari—terjadi pembiakan mesin-mesin hasrat yang saling terhubung dan menciptakan pelipatangandaan permainan hasrat, dan, dalam hal ini, adalah hasrat akan kenikmatan penandaan.

Sebuah tanda menjadi bermakna ketika penerima tanda memahami apa makna atau petanda dari tanda tersebut, namun, ketika maknanya tidak terpahami, maka sesuatu tersebut tidak menjadi tanda. Namun, dalam memahami sebuah tanda, penerima tanda akan mencoba menafsirkannya dengan segenap pengalaman psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengenai tanda tersebut. Terkait dengan SQ, Zohar dan Marshall mengutip perkataan Rumi dan Ibnu ‘Arabi untuk menunjukkan sesuatu yang melampaui agama dan bentuk-bentuk, sekaligus mengklaim keberadaan SQ melalui kedua shufi tersebut. Namun, tentu saja apa yang Zohar dan Marshall pahami dari perkataan kedua orang tersebut dilandaskan pada segenap penafsirannya yang terbentuk dalam kondisi psikis dan budaya Barat (yang cenderung materialistik)—serta pencocokan terhadap kerangka kerja SQ yang sedang digarapnya—dan bukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mistik sebagaimana yang dialami kedua shufi tersebut.6

Terkait dengan permasalahan agama, inti dari agama—yang juga menjadi benang merah pada setiap agama kuno di Barat dan Timur—adalah proses pengenalan diri yang akan mengantarkan kepada pengenalan akan Yang Satu. Agama adalah state yang tetap terjaga (conserve) dalam perjalanan waktu, bukan semata suatu lembaga yang terorganisir dengan seperangkat aturan, ritual dan kepercayaan. Dan spiritualitas adalah inti religiusitas dalam artiannya yang terdalam, sebagaimana yang dimaksudkan dan dialami oleh para shufi, seperti Rumi dan Ibnu ‘Arabi, misalnya. Karena itu, adalah suatu kesejalanan yang terlalu mengada-ada apabila spiritualitas-mistik disandingkan dengan SQ. Apa yang diajukan oleh Zohar dan Marshall tidak lebih hanya proses pemaknaan yang memang tidak selalu memiliki hubungan penting dengan agama, terlebih dengan dimensi esoteris.

SQ bukanlah kecerdasan par excellence, tapi lebih kepada usaha terapi diri dalam memaknai setiap tindakan dan hidup melalui suatu proses penandaan. Proses pemaknaan tersebut dilakukan untuk dapat menentramkan dan memberi jawaban atas berbagai masalah eksistensial yang sebenarnya berasal dari alam bawah sadar berupa berbagai kompleks. Kemunculan SQ bukanlah isyarat telah munculnya jembatan penghubung antara sains dan agama. SQ lebih merupakan upaya diskursus Barat untuk mengintegralkan pandangannya mengenai manusia dengan segala sesuatu yang selama ini seringkali luput dari perhatian sains dengan tetap menjadikan tubuh sebagai basis materialnya. Dalam konteks spiritualitas Islam, SQ tidaklah memiliki arti yang besar.7

Selain itu, muncul juga simulakra mistisisme—seperti yang disinyalir oleh Richard Kirby—yaitu, sebuah titik balik ketika spiritualitas hanya menjadi semacam terapi untuk menyiapkan dan mengembalikan manusia kepada pola hidup hedonisnya, pada hasrat-hasrat kebertubuhannya. Kirby juga menggunakan istilah ekstase—yang dianggap sebagai ciri khas mistisisme—untuk fenomena yang dipandangnya menyerupai “ekstase” namun dialami dalam suatu cara yang tidak bersifat religius. Tentunya “ekstase” dalam dua keadaan yang bertolak belakang tersebut sangatlah berbeda dalam pengalaman serta kualitas transformasinya. Pengertian “ekstase” dalam kategori simulakra mistisisme serupa dengan yang diutarakan oleh Baudrillard sebagai titik ekstrem ketika manusia menghilangkan semua makna hingga menjadi kehampaan. Sedangkan pengalaman spiritual dalam mistisisme (sejati) adalah “fana”, yaitu leburnya kehendak manusia dalam Kehendak Tuhan setelah menjalani proses purifikasi yang panjang. Terlebih lagi, Jalan spiritual—yang biasa juga disebut mistisisme (dari bahasa Yunani myein8 Jalan spiritual merupakan “arus besar keruhanian yang mengalir dalam semua agama”9 yang dalam Islam disebut dengan tashawwuf.

Beberapa tahun belakangan ini, muncul juga fenomena antusiasme terhadap tashawwuf yang umumnya dipicu oleh kehampaan makna hidup. Kehampaan makna hidup tersebut oleh Viktor Frankl diistilahkan dengan neurosis noogenic, yang membahas berbagai gejala gangguan neurosis yang bermula dari hidup tak bermakna berupa “perasaan bosan, jenuh, hampa, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup dirasakan sebagai suatu rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjemukan, kehilangan gairah kerja, merasa tak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh, menipisnya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta merasa tak berdaya menghadapi kehidupan.”10

Neurosis noogenic senantiasa terjadi dalam setiap fase sejarah umat manusia. Gejala tersebut menyembul dari pertanyaan manusia tentang keberadaannya di muka bumi ini—yang tak pernah dimintanya. Boleh jadi gejala tersebut lebih sering terlihat di masyarakat kontemporer perkotaan, disebabkan ritme kehidupan yang begitu cepat serta semangat materialisme. Namun, pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup itu sendiri adalah pertanyaan setiap manusia yang terlahir ke muka bumi ini. Banyak kritikus-budaya kontemporer dalam uraian-uraiannya menyiratkan kaitan antara neurosis noogenic dengan perkembangan zaman, yaitu efek dari kemajuan yang lebih menekankan pada berbagai aspek material dan mengenyahkan aspek yang imaterial. Pertanyaannya, apakah dalam sejarah kemanusian yang terjadi adalah kemajuan?

Kebaruan dan perubahan terjadi dalam skema fraktal: sejak tingkatan peradaban manusia hingga pada tingkatan individu itu sendiri. Perubahan, karenanya, adalah kata yang lebih netral untuk menggambarkan sejarah manusia hingga hari ini, bukan kata kemajuan. Kata kemajuan mengisyaratkan bahwa suatu masa lebih baik daripada masa yang lainnya, suatu masa lebih beradab daripada masa yang lainnya. Pikiran tersebut tidak sejalan dengan kemanusiaan itu sendiri, karena manusia, seperti yang diungkapkan Levi-Strauss, selalu berpikir dengan kualitas yang sama juga dan pikirannya tidaklah berkembang sebanyak penemuan area baru pengetahuan di mana “unchanged and unchanging power” dari pikirannya mungkin diterapkan.11

Proposisi tersebut menandaskan bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi setiap manusia di setiap zaman pada dasarnya adalah sama, sedangkan yang berbeda hanyalah manifestasinya saja. Apa yang terjadi pada umat manusia saat ini hanyalah satu fragmen dari sejarah panjang umat manusia dalam kualitas yang tetap sama.

Krisis Makna Hidup dan Fenomena Demam Tashawwuf

Di Indonesia, proyek modernisasi—nama lain dari “pembangunan nasional”—telah dicanangkan beberapa dasawarsa yang lalu, namun tanpa diduga, krisis pun dimulai pada pertengahan tahun 1997. Krisis di bidang moneter yang berpengaruh kepada krisis ekonomi dan politik di Indonesia—dan juga di beberapa negara Asia lainnya—telah menyebabkan terhambatnya proses modernisasi. “Setiap sistem memiliki daya tahan maksimum dalam memikul sebuah beban; jika daya tahan maksimum tersebut terlampaui maka sistem akan berubah perilakunya”, begitu postulat yang diajukan oleh Danny Daud Setiana.12 Maka reformasi pun mulai digaungkan, akan tetapi wajah masa depan negeri ini masih tetap buram, keraguan akan perbaikan tetap menghinggapi segenap lapisan masyarakat. Ironisnya, semua rasa pesimisme tersebut justru muncul menjelang kedatangan milenium ketiga yang sebelumnya sering dikatakan sebagai Milenium Asia, Kebangkitan Asia atau Renaissans Asia. Dan kini krisis tersebut semakin diperlengkap dengan teror bom, kerusuhan dan berbagai bencana alam yang terjadi di awal milenium ketiga ini.

Krisis multidimensi yang berbarengan dengan gelombang reformasi tersebut telah membuka banyak katup yang selama ini tersumbat pada masyarakat Indonesia, namun memuncak dalam histeria dan ekstrimitas akan segala sesuatu. Dalam kondisi di mana kemajuan dan keberhasilan hidup lebih banyak diukur dari seberapa jauh manusia mendapatkan dan menguasai materi, maka kesuksesan hidup pun diidentikkan dengan mewujudkan impian dalam bidang materi, sehingga manusia pun berusaha menampilkan dirinya agar dapat dipandang sebagai orang yang mempunyai kemampuan materi, yang pada akhirnya cenderung menyebabkan manusia kehilangan makna dalam hidupnya.13

Krisis moneter telah membuat banyak orang terpukul dan terjatuh. Dalam hal ini, agama pun dilirik sebagai jawaban untuk masalah-masalahnya. Sebuah kehausan spiritual. Namun wajah agama yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang formal, kaku dan sangat harfiah dalam memahami segala hukum agama, hingga tashawwuf yang dipandang kaya dengan berbagai konsep, berdimensi esoteris, dan dapat membantu manusia agar dapat menenangkan kegelisahan serta neurosis noogenic yang mencekamnya.

Majalah Tempo sejak tahun 1991 telah menurunkan laporan mengenai demam tashawwuf tersebut (yang jelas bukan karena dampak krisis moneter yang baru melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997). Biasanya ketika makna agama menjadi terdistorsi atau mengalami pendangkalan sehingga cenderung formalistik, maka nuansa esoteris tashawwuf dianggap dapat menghidupkan kembali semangat keagamaan yang telah mengering. Belakangan ini, fenomena tersebut memang semakin meningkat dengan adanya kursus-kursus tashawwuf, penerbitan buku-buku, majalah serta jurnal yang banyak membahas mengenai tashawwuf dan laris manis di pasaran. Situs serta mailing-list tashawwuf di internet pun penuh diisi oleh para surfer, juga mulai ada siaran radio dan televisi yang menyiarkan program-program pengkajian tashawwuf. Kegiatan-kegiatan tersebut makin sering diikuti oleh para eksekutif, selebritis, dan akademisi. Padahal dulunya tashawwuf dipandang lebih merupakan ekspresi keberagamaan masyarakat pedesaan. Pendek kata, tashawwuf seakan telah menjadi ekspresi fenomena keagamaan (Islam) dewasa ini di sebagian masyarakat perkotaan. Namun, dunia kontemporer adalah dunia yang potensial untuk menjadikan apa pun sebagai komoditi dan tontonan, didorong oleh hasrat karnal dan libidinal.

Di wilayah ilmiah, tashawwuf pun digolong-golongkan dengan penambahan titel klasik dan modern. Misalnya, kini marak pula apa yang disebut sebagai Tasawuf Modern, Sufisme Modern, Neo-Sufism, atau belakangan disebut pula dengan Tasawuf Positif. Tashawwuf klasik, walau tetap mementingkan pemahaman esoteris dari setiap ibadah formal yang dilakukan, masih sering dicap cenderung menarik diri dari kehidupan dunia. Sedangkan tashawwuf

Pemahaman dan penggolongan tashawwuf dengan cara seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap anti thariqat yang dipandang sebagai Jalan yang diikuti oleh para shufi masa lalu. Thariqat dipandang hanya berlandaskan pada ketaqlidan buta terhadap mursyid sebagai pembimbing spiritual. Bahkan kini pun muncul slogan “Tasawuf Yes, Tarekat No”. Permasalahannya, dari pandangan seperti itu terlihat bahwa kini jarang ada yang memahami apakah sebenarnya thariqat itu, dan lebih terbetot perhatiannya pada ekses-ekses yang dipandangnya ‘negatif’.14

Thariqat sebenarnya adalah bagian khusus dari tashawwuf, yaitu aspek operasionalnya. Thariqat merupakan sikap hidup di dunia, terjun ke dalam ‘lautan’ dunia, berinteraksi dan beraktivitas dengan manusia, namun jiwanya tidak ‘terbasahi’ oleh dunia. Inilah yang disebut dengan sikap zuhud, yaitu tidak mengisi hati dengan kecintaan terhadap dunia.15

Thariqat sebenarnya memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah menjadi al-muthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi. Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan thariqat) dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh lapis. Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama. Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau ma‘rifat. Pada tingkatan inilah seseorang baru dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui misi hidupnya di muka bumi. Pada tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga dengan cara mati syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu kali training?). Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film yang memfilter cahayanya yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan penetapan qadha dan qadarnya.16 Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya sampai di tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh Al-Quds, yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya. Adapun tujuan thariqat yang ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).

Konon wacana mengenai tashawwuf baru menghangat setelah tahun 1985, walaupun sebenarnya tashawwuf telah masuk ke Indonesia jauh sebelum itu, yaitu di masa penyebaran Islam di Tanah Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga. Saat ini buku dan wacana tashawwuf telah berkembang pesat, dan tampaknya akan terus berkembang seiring dengan antusiasme masyarakat yang juga semakin meningkat. Namun, pemiskinan pemahaman pun cukup potensial untuk terjadi. Salah satu wacana tashawwuf yang muncul dengan imbas semangat kesesaatan (instant) atau kesementaraan, misalnya, adalah training dan kiat-kiat praktis yang terlalu mereduksi dan menyederhanakan hakikat tashawwuf. Walau antusiasme terhadap tashawwuf pada masyarakat perkotaan umumnya dikarenakan neurosis noogenic, namun, adalah keliru menganggap tashawwuf sebagai terapi untuk menenangkan diri, obat atas kegelisahan karena—sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw—kegelisahan adalah tanda adanya dosa.

Thariqat merupakan perjalanan kembali kepada Tuhan untuk dapat menemukan diri otentik dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali ke Tuhan mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui hingga jiwa manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, maka sang individu pun siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya. Ketenangan sebagaimana yang diinginkan banyak orang, dalam tradisi tashawwuf lebih sering dipandang sebagai isyarat bahwa Tuhan tidak lagi peduli terhadap manusia bersangkutan. Isyarat bahwa Tuhan membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, dan tidak di akhirat nanti. Namun, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi dari masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Ketenangan yang ada dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang akan berjalan menuju Tuhannya.

Posisi tashawwuf sebagai terapi untuk mencari ketenangan (semu) seringkali berakhir ironis. Tak ubahnya memperbaiki mobil yang telah rusak karena kebut-kebutan dan akhirnya tabrakan, agar dapat dipakai lagi untuk hal yang sama, dan senantiasa berulang begitu. Semacam siklus lingkaran setan. Tashawwuf seakan menjadi tawaran aktivitas di antara aktivitas hedonis lainnya, dan seolah berfungsi untuk memulihkan kembali energi bagi aktivitas lain yang telah kehabisan energi yang, bisa jadi, sama sekali berlawanan dengan semangat spiritualitas tashawwuf. Para selebritis, misalnya, seringkali tampil ironis, dengan tubuh sebagai komoditi yang ditawarkan kepada jutaan mata pemirsa untuk ditonton (karnal) dan meraih popularitas seluas-luasnya (libidinal). Selama sebelas bulan tampil melepas hasrat, dan selama Ramadhan mendadak tampil religius atas pesanan. Para eksekutif yang terobsesi dengan keuntungan dan karir memompa seluruh energinya untuk mendapatkan kesuksesan karnal dan libidinal. Apabila kemudian muncul kegelisahan, maka tashawwuf dipakai sebagai terapi pembangkit semangat.

Di sisi lain, secara ilmiah, kini tashawwuf pun digolong-golongkan ke dalam berbagai tipe wacana, seperti tashawwuf akhlaqi atau tashawwuf filosofis, bahkan ada pula mengistilahkannya dengan Jalan Cinta (Path of Love) dan Jalan Pengetahuan (Path of Knowledge). Dalam tradisi wacana modern, hal tersebut merupakan sesuatu yang positif, yaitu suatu kreativitas dalam mencipta konsep-konsep. Namun, berbeda dengan tradisi spiritualitas, konsep sebenarnya lebih diarahkan sebagai mimesis dari Kebenaran, sebagai imaji pemikiran, sebagaimana yang disarankan oleh Plato. Untuk kajian akademis, penggolongan tersebut memang berguna, namun dalam Jalan spiritual bisa lain masalahnya.

Perbedaan di kalangan shufi—yang telah sering dibukukan—sebenarnya hanyalah sebatas peristilahan, bukan konsep. Ajaran-ajaran yang ditulis oleh para shufi besar tak ubahnya televisi dengan berbagai macam tipe bentuk dan ukuran, namun kesemuanya menayangkan satu siaran dari stasiun televisi yang sama. Tak ubahnya air yang mengambil bentuk wadahnya, sehingga tampak berbeda bentuk, padahal esensinya tetaplah air. Tak ada perbedaan antara satu sama lainnya karena pengetahuan mereka lahir dari keberserahdirian total. Yang membedakan adalah wadah pembahasaannya. Seorang Suhrawardi atau Mulla Shadra yang ketika muda lebih terbiasa dengan wacana filsafat, ketika membahasakan tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa filsafat. Karena itu, untuk zaman sekarang, apabila muncul kembali shufi sekaliber Ibn ‘Arabi atau Rumi yang ketika mudanya terbiasa dengan wacana sains, bukan tidak mungkin pembahasannya tentang tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa sains.

Selain itu, pengetahuan mistik yang berasal dari Satu Sumber bagi para shufi lebih berfungsi untuk meningkatkan hakikat ‘ubudiyyah. Inilah perbedaan yang cukup mencolok dengan wacana Tasawuf Modern. Kecenderungan wacana tersebut adalah melakukan klasifikasi dan mencari berbagai perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut secara kreatif untuk penciptaan konsep-konsep baru, dan seringkali tidak langsung diniatkan sebagai Jalan spiritualitas. Hal ini terlihat cukup jelas dengan tidak adanya lagi karya-karya tashawwuf yang kualitasnya sebanding dengan karya-karya para shufi terdahulu, seperti Fushush Al-Hikam dari Ibnu ‘Arabi, Al-Hikam dari Ibnu Atha’illah, Ihya ‘Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali, Hikmah Muta’aliyyah dari Mulla Sadra, Al-Mawaqif wal Mukhathabat dari Imam An-Nifari, dan banyak lagi yang lainnya. Apabila para shufi zaman dulu menulis karyanya dari hasil berthariqat, mencapai ma‘rifat, dan menemukan al-‘ilm at-tasawwur-nya serta dianugrahi nur ilmu, setelah sekian tahun jatuh bangun dalam berbagai ujian kehidupan dan menjalani misi hidupnya, maka wacana tashawwuf hari ini lebih didominasi oleh wacana-wacana rasional tanpa pengalaman dan pengetahuan mistik.17

Tashawwuf, Struktur Insan, Misi Hidup

Apabila kita pergi ke toko-toko buku yang juga menjual buku-buku tashawwuf, akan kita dapati jumlah terbitan buku tashawwuf yang lumayan banyak untuk ukuran Indonesia yang masyarakatnya terkenal malas membaca. Sudah cukup banyak manuskrip tashawwuf klasik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi kajian tashawwuf dari para penulis lokal maupun Islamolog Barat. Terlebih apabila kita menjelajahi situs amazon untuk mencari buku dengan subjek tashawwuf, maka data yang disuguhkan bisa mencapai ribuan judul buku. Namun, dari kesemua kajian tashawwuf yang ada, rasanya belum pernah ada yang membahas ihwal misi hidup, padahal misi hidup termasuk ajaran inti tashawwuf.18 Permasalahan misi hidup merupakan perkara yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Adakah inti Ad-Diin selain manusia menemukan misi hidupnya, mengetahui dan menjalankan maksud dan tujuan Tuhan menciptakannya? Itulah inti dari ajaran agama baik itu Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani, maupun Islam.19 Bagaimana sebenarnya misi hidup dalam tashawwuf?

Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa “Awwaludiina Ma‘rifatullah” (Awal dari Ad-Diin[agama] adalah ma‘rifatullah). Kemudian ditegaskan pula oleh Al-Ghazali bahwa “kemuliaan dan keutamaan manusia… adalah disebabkan persediaannya ma‘rifatullah(mengenal Allah)…di mana ma‘rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia, dan di akhirat adalah sebagai alat dan simpanannya.”

Adapun ma‘rifat itu sendiri adalah dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu,” (Barangsiapa yang mengenal nafs-nya, maka sungguh ia akan mengenal Rabb-nya). Rangkaian pernyataan di atas menegaskan relasi yang erat antara Ad-Diin, ma‘rifatullah, ma‘rifatur-Rabb, hingga ke ma‘rifatun-nafs. Bahwa pencapaian stateAd-Diin adalah dengan menempuh urutan-urutan panjang sejak mengenali apa yang Tuhan hadirkan secara unik dalam tiap jiwa atau nafs (ma‘rifatun-nafs), mengenali Rabb (Sang Pemelihara) yang menetapkan kadar-kadar tertentu bagi setiap nafs (ma‘rifatur-Rabb), hingga akhirnya mengenal Tuhan (ma‘rifatullah).(bisakah tahapan-tahapan ini di-training-kan hanya dalam sehari?)

Sedangkan ibadah sering dikaitkan dengan metafora pemunculan buah (hasanah) dari sebuah pohon nafs yang unik (lihat QS Ibrahim [14]: 24-25). Tuhan menetapkan benih yang spesifik kepada tiap-tiap jiwa manusia untuk ditumbuhkan menjadi pohon dan buah yang sesuai dengan benih tersebut (lihat QS Al-Israa’ [17]: 13). Beragamanya manusia berkaitan dengan bagaimana pengabdian atau ibadah manusia sesuai dengan apa yang Dia kehendaki (manusia menjadi kalimah Allah, kalimah Thayyibah [QS Ibrahim [14]: 24]), sesuai dengan benih amal dan kemisian yang telah Dia tetapkan sebelumnya pada setiap jiwa (QS Al-Israa’ [17]: 13) di alam persaksian (QS Al-A’raaf [7]: 172). Misi hidup unik pada setiap individu merupakan suatu perkara yang sering dibicarakan oleh para shufi masa lalu. Dalam banyak bagian karya maupun ucapannya hal tersebut sering diungkapkan, hanya saja bukan dalam bentuk rincian teknis pencapaiannya (katakanlah semacam buku how to, self-help, atau do it yourself). Bahkan Rumi secara ekplisit pernah mengutarakan hal ini:

Dan seseorang berkata, “Aku telah melupakan sesuatu.” Sesungguhnya, hanya satu hal saja di dunia ini yang tidak boleh engkau lupakan. Boleh saja engkau melupakan semua hal lain, kecuali yang satu itu, tanpa engkau harus menjadi risau karenanya. Jika engkau mengingat semua yang lain, tapi melupakan yang satu itu, maka tiada sesuatu pun yang telah engkau capai. Dirimu itu bagaikan seorang utusan yang dikirim seorang raja ke sebuah desa dengan suatu tujuan khusus. Jika engkau berangkat dan kemudian mengerjakan seratus tugas lainnya, tapi lalai menyelesaikan tugas yang dikhususkan untukmu tersebut, itu sama saja artinya dengan engkau tidak mengerjakan apa-apa. Demikianlah, manusia diutus ke dunia ini untuk suatu tujuan dan sasaran khusus. Jika seseorang tidak mencapai tujuan itu, berarti ia tidak menyelesaikan apa pun. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah itu kepada petala langit dan bumi dan gunung-gunung: dan mereka menolak untuk memikulnya dan gentar kepadanya; tetapi Al-Insan mengambilnya; dan sungguh, ia itu dzalim dan bodoh.” (QS Al-Ahzab [33]: 72) 21

Pada kesempatan lainnya, Rumi pun menegaskan kembali ihwal misi hidup ini:

Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.22

Pada kenyataannya, sulit bagi manusia untuk menumbuhkan benih kemisian tersebut jika tanah tempat tumbuhnya benih tersebut merupakan tanah yang gersang, dan bumi diri yang kering dari hujan rahmat Tuhan. Hanya dengan dua bagian rahmat-Nyalah [QS 57:28], yaitu (1) manusia dapat menempuh jalan pensucian dan disucikan (Al-Muthahharuun) yang karena kesuburan sang muthahharuun, maka (2) benih ketetapan-Nya dapat dikenali (ma‘rifat) dan dipersaksikan (syuhada) untuk kemudian ditumbuhkan dan berbuah (bagi sesama manusia dan bagi semesta alam), hingga jadilah manusia sebagai kalimah-Nya. Misi nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam misi nafs karena bakat langit nafs merupakan fithrah yang tidak berubah [QS 30:30], dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena hatinya dipenuhi dosa.

Meskipun setiap individu memiliki benih serta misi yang spesifik dan unik, namun perlu dikaji pola yang umum berlaku dalam rangka mencapai persaksian dan kedekatan dengan Tuhan. Pintu masuk menuju hal ini adalah pada perkara bagaimana menemukan tatanan yang senantiasa tertanam dalam diri manusia (innate), yaitu struktur insan dalam kaitannya dengan perjalanan menuju Tuhan. Pemahaman tentang struktur insan amat berpengaruh dalam membentuk struktur keberagamaan, karena manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang, baik lahir maupun batin di mana proses tersebut ada polanya. Pola proses inilah yang amat penting dipahami seorang salik, sehingga dia bisa mengukur posisi perjalanannya menuju Tuhan dan membangun keberagamaannya dengan struktur yang benar sesuai kehendak Tuhan. Proses ini dikenal di kalangan kaum shufi dengan istilah ‘uruj (mi’raj), yaitu proses berpindahnya atau naiknya kesadaran manusia, dari satu kesadaran ke kesadaran lain sehingga faktor kendali kehidupan seseorang senantiasa berpindah sejalan dengan ‘uruj.23

Alur kedekatan pada Allah

Pemahaman tentang Struktur Insan selain ditujukan untuk mengidentifikasi keberadaan entitas-entitas tersebut, utamanya adalah demi memahami mekanisme ‘uruj ini. Bahwa keberagamaan seseorang dibangun dengan pola tumbuh dan hadirnya nafs-qalb-‘aql-ruh secara nyata yang kesemuanya diawali dari kesadaran bahwa semua entitas tersebut eksis dan ada wujudnya. Memang pada awalnya manusia hanya menyadari keberadaan tubuhnya, dan umumnya ide tentang nafs yang dipahaminya sangat kental terwarnai oleh pembahasan yang ada dalam psikologi. Selain itu, dia pun akan banyak menggunakan fakultas-fakultas jasadiah saja, serta menjadikan alam yang materialistik sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi, seperti otak, nalar (rasio) kemudian bagian-bagian lain dari kesadaran (consciousness) manusia yang hanya merupakan aradh dari nafs. Kemudian dengan bertaubat, manusia pun berkesempatan untuk menghidupkan nafsnya dan menjadikannya sebagai subjek belajar pada tingkat nafs yang bahan pembelajaran dan sumber informasinya adalah alam malakut. Begitulah seterusnya proses ‘uruj ini mengalir, hingga totalitas kepribadiannya bertemu dengan Ruh Al-Quds yang merupakan utusan Tuhan.

Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat seseorang ditentukan dari aspek tertinggi dalam dirinya, dan ‘uruj menunjukkan aspek tertinggi yang eksis dalam diri seseorang. Awalnya manusia hanyalah seonggok daging dengan kekuatan berpikir, karena dalam konteks kepribadian psikis, manusia hanya eksis tubuhnya saja. Tetapi bila nafs seseorang telah hidup, maka sebutan nafs tersebut juga melekat dalam totalitas kepribadiannya. Begitu juga bila qalb-nya, dan kemudian ‘aql-nya, telah kembali. Dalam ‘uruj ini ada yang sifatnya tumbuh dari dalam dirinya, ada pula yang berupa rahmat dari sisi Tuhan yang diterimanya kelak. ‘Uruj dari Jasad sampai dengan ‘Aql, itu semua merupakan potensi yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Namun, potensi tersebut belum berarti apa-apa sampai benar-benar berwujud dan eksis.

Dalam tashawwuf diuraikan bahwa manusia itu terdiri dari tiga entitas utama, yaitu tubuh atau jasad, nafs dan Ruh Al-Quds. Pengetahuan manusia tentang tubuh memang sudah lebih jauh daripada pengetahuannya mengenai nafs karena pengertian nafs ini masih sering dikacaukan pengertiannya dengan psikis. Psikis, dalam struktur insan, merupakan entitas yang dihasilkan dari pertemuan antara tubuh yang dihidupkan karena nafakh ruh dan nafs, dan hasilnya antara lain adalah ego dan hawa nafsu, otak dan syahwat. Ego merupakan aspek kepala dari hawa nafsu (libidinal) sebagaimana otak terhadap anggota tubuh; hawa nafsu adalah segala kecenderungan manusia terhadap hal-hal yang sifatnya imateri seperti citraan, harga diri, kesombongan, keakuan, dan lain sebagainya. Adapun tubuh ketika ia dihidupkan oleh nafakh ruh maka muncullah suatu kecenderungan dalam dirinya terhadap segala sesuatu yang “sebahan” dengannya, yaitu hal-hal yang sifatnya materi, seperti perempuan, harta, binatang ternak dan lain sebagainya (lihat QS Ali ‘Imran [3]: 14); kecenderungan ini disebut sebagai syahwat (karnal). Tubuh, dalam pandangan tashawwuf, berasal dari “alam mulk (ardhiyah) yang merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haqq dalam alam syahadah”24 dan “berperan sebagai kendaraan bagi nafs untuk menemukan Al-Haqq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya.”25

Sementara otak manusia merupakan bagian dari fakultas tubuh yang terhidupkan bersamaan dengan tubuh dan akan berhenti bekerja ketika tubuh mati. Otak (yang kerjanya disebut sebagai nalar) memiliki keterbatasan dalam melihat dan memahami permasalahan, otak memiliki kecenderungan untuk membatasi universalitas dari keuniversalan ide-ide ilahiah atau juga berbagai permasalahan yang ada pada tingkatan malakutiyyah. Namun, fatalnya, otak seringkali merasa bahwa dia adalah sebuah bola yang utuh (seperti telah dikemukakan di atas) padahal ada bagian “bola” akal yang lain, yaitu lubb. Lubb merupakan fakultas dari nafs yang hanya akan bekerja secara holistik dalam memahami suatu persoalan yang biasanya bersifat hakikat. Selain itu, lubb baru akan mulai berfungsi setelah qalbnya tercahayai dengan Cahaya Tuhan dan nafs yang disucikan-Nya.

Mengenai ‘aql (atau lubb) Al-Ghazali menguraikan pengertiannya yang bersekutu, yaitu, pertama, ‘aql yang diartikan sebagai “pengetahuan hakikat” segala sesuatu, dan, tentu saja, bertempat di qalb, dan, kedua, ‘aql dalam arti lathifah yang mampu mencerap hakikat segala sesuatu. Dari uraian mengenai dua hal di atas tampaklah bahwa yang menjadi objeknya adalah hakikat, dan yang dimaksud bukanlah akal empiris (otak), namun akal atas yang disebut ‘aql atau lubb (orang yang memilikinya disebut sebagai ulil ‘albaab). Akal itu seperti bola yang seluruh permukaannya menghadap ke segala arah dan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akal bawah (pikiran, otak dan ego), fu’ad (aspek dari akal atas) dan akal atas (‘aql atau lubb). Ad-Diin, dalam hal ini, adalah persoalan yang baru dipahami jika keseluruhan “bola” akal tersebut telah terbuka.

Gambar Bola 'Aql

Ibnu ‘Arabi mengemukakan bahwa penilaian (proposisi) yang beragam bukan hanya pengetahuannya saja, tapi juga jalan untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri. Secara umum manusia memperoleh pengetahuan melalui lima indra dan satu akal yang didrive oleh ego sebagai aspek permukaan fu’ad.26 Namun bagi manusia yang nafsnya telah hidup dan qalbnya tercahayai, maka ada pula pengetahuan yang langsung masuk ke dalam qalb tanpa melalui indra yang manapun. Suatu cara yang tidak umum. Hal ini pernah dijelaskan oleh Ja’far As-Shaddiq bahwa ‘ilm itu diperoleh bukan dengan jalan ta’alum (menuntut ilmu), tetapi dengan hakikat ‘ubudiyyah.

Ibnu ‘Arabi, juga Abu Thalib Al-Makki, membedakan antara ‘ilm dengan ma‘rifat; ‘ilm diperoleh dengan ‘aql dan orangnya disebut sebagai ‘alim, sedang ma‘rifat diperoleh dengan musyahadah dzauqiyyah dan orangnya disebut sebagai ‘arif. Abdul Jabbar An-Nifarri mengatakan bahwa jenjang ‘ilm itu adalah serambi ma‘rifat. Jika ma‘rifat itu sebagai awal dari proses Ad-Diin, tentunya jenjang serambi ma‘rifat (jenjang ‘ilm haqiqah) harus dilampaui terlebih dahulu, dan ini pun harus terlebih melalui jenjang tazkiyatun nafs (thariqat). Memang tampak rumit, sulit, namun kembali ke permasalahan mendasar yaitu “apa yang sebenarnya manusia cari di muka bumi ini?”. Banyak hal yang manusia itu harus melihat ke dalam qalb agar mengerti peta persoalannya, sehingga akan dapat mengerti apa fungsi dari ‘aql.

Dalam kaitannya dengan Pengetahuan ke-ma‘rifat-an, Ibnu ‘Arabi menjelaskan sebagai berikut:

Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan kecerdasan otak, yang sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan, dan pemanfaatan sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan lebih jauh. Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme).

Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi perasaan yang emosional (renjana) dan kejanggalan, di mana manusia menganggap bahwa ia merasakan sesuatu tapi tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut emosionalisme.

Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut Pengetahuan atas Al-Haqq. Pada bentuk ini, manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati, melampaui batas-batas pemikiran dan perasaan. Para ilmuwan dan cendekiawan terpusat pada bentuk pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperientalis menggunakan bentuk kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan salah satu sebagai pilihan.

Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan Al-Haqq bahwa ia berada di dua pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum Shufi sejati, kaum Darwis dan mengalami Pencapaian.27

Kemudian nafs, sebagai entitas yang sering dikacaukan dengan pengertian psikologis yang memandangnya sebagai kualitas; selain itu nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu. Nafs adalah fokus pendidikan Ilahi dan

“harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”28

Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan sang diri manusia tentang nafsnya. Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra Dia, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan Dia, maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam.29

Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Ruh Al-Quds yang merupakan

“utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syuura [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya yang mana terdapat kalimah ruuh dan ‘amr). Ruh Al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinahdalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”30

Karena itulah kehadiran Ruh Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan. Ruh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu adalah diri Al-Mu‘miniin. Ruh Al-Quds berbeda dengan nafakh ruh atau nyawa, karena Ruh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun aradh. Ruh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran Ruh Al-Quds ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan jiwa (an-nafs) hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Entitas Ruh Al-Quds ini disebut dengan Ruh ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali, dan disebut sebagai Intelek Aktif dalam terminologi Mulla Shadra.31

Struktur Insan seperti diuraikan di atas banyak diungkapkan dalam Al-Quran baik secara eksplisit maupun implisit. Adapun penjelasan yang dinyatakan dalam bentuk perumpamaan yang ringkas dapat dilihat pada QS An-Nuur [24]: 35:

“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang di dalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Misykat An-Nuur : 35

Dalam membahas mengenai Struktur Insan, para shufi besar melakukannya dengan teliti karena, seperti telah diperlihatkan di atas, bahwa Struktur Insan adalah suatu hal yang fundamental sebab permasalahan lain di dunia ini merupakan perpanjangan darinya. Kini telah banyak tulisan yang dibuat oleh cendekiawan Muslim yang membahas masalah tersebut, memetakannya serta mencoba membandingkan dan menyamakan beberapa aspek-aspek tertentu dari Psikologi Barat—yang memang telah terlebih dulu berkembang secara ilmiah dan sistematik—dengan berbagai konsepsi Struktur Insan dalam Al-Quran dan hadis. Kemudian dilabeli dengan istilah “Psikologi Islami”. Namun bahasan-bahasan tersebut lupa untuk menguraikan secara jelas garis batas wilayah antara kajian psikologi dan tashawwuf. Walau psikologi dan tashawwuf mengambil manusia sebagai objek kajiannya, namun aspek manusia yang yang menjadi fokus pengamatannya berbeda satu sama lain, baik secara epistemologis maupun entitas, walaupun dalam beberapa hal kedua disipilin ilmu ini membentuk suatu hubungan yang komplementer mengenai Struktur Insan.32

Poskrip: Gaya Hidup Kenikmatan dan Diri Otentik

Apa makna “spiritualitas” pada saat ini? Heidegger pernah mengidentifikasi adanya proses karat pada suatu kata yang senantiasa terjadi pada setiap generasi sehingga seringkali menutupi pengalaman asli kemunculan kata tersebut. Begitu pula halnya dengan kata “spiritualitas”. Terkait dengan minimnya pengalaman mistis-spiritual di era ini, istilah spiritualitas pun mengalami pengkaratan makna yang kemudian “disesuaikan” dengan imajinasi dan pengalaman tubuh-karnal manusia kontemporer ihwal istilah tersebut. Sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut:

Dalam setiap shownya gereja, salib, figur Bapa tidak pernah lepas, bahkan setiap pertunjukannya diawali dengan doa. Pada pertunjukkannya yang ke-1000 pada tanggal 22 Juli 1991 dia berdoa “saya spiritual”, “saya religius”. Ketika ditanya tentang acara doa sebelum pertunjukkan tersebut, Madonna berkata “Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling tidak sejauh menyangkut diri saya…Saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsens.”33

Sebagaimana juga terlihat pada wacana tentang SQ, karat pada istilah spiritualitas pun terbentuk, namun hal itu seringkali tidak disadari oleh para penyambut antusias SQ di Indonesia. Selain itu, kini berkembang pula gaya hidup kenikmatan yang dipicu oleh perkembangan sains dan teknologi untuk melayani kebutuhan (baca: hasrat) manusia kontemporer. Dalam banyak aspek kehidupannya, manusia kontemporer mendapatkan banyak kemudahan teknologis sehingga mereka pun semakin memanjakan tubuh dan hasratnya. Akibatnya, mereka pun cenderung rentan terhadap penderitaan dan masalah.

Misalnya, manakala muncul permasalahan hidup, mereka terbiasa mencari solusi cepatnya melalui buku-buku how to, self-help, atau do it yourself. Umumnya mereka abai menyadari bahwa sudah lazimnya masalah itu akan senantiasa datang silih berganti, dengan variasi yang beragam pula. Mengandalkan buku-buku tersebut sebagai solusi hanya akan menjadikan mereka sebagai konsumen tetap industri nasihat. Berapa ribu buku yang diperlukan untuk setiap masalah manusia dalam hidupnya? Padahal, yang diperlukan adalah kebiasaan untuk berpikir mendasar dan membangun suatu sikap yang tepat untuk setiap permasalahan yang datang. Tak ubahnya detektif dalam film-film Hollywood yang memiliki “kunci khusus” yang dapat digunakan untuk membuka segala jenis pintu. Namun, tampaknya kebanyakan manusia (terlebih di Indonesia yang masyarakatnya memang malas membaca) untuk belajar berpikir mendasar dan mendalam (yang tidak selalu identik dengan berpikir secara filsafat).

Pada setiap masa manusia memang mempunyai hasrat komunal yang khas, yaitu hasrat yang terbentuk dari keinginan tak sadarnya untuk menjadi seperti orang kebanyakan. Pada masa sekarang, salah satu bentuk hasrat komunal tersebut lebih dikenal dengan istilah budaya pop. Budaya pop cenderung menjauhkan orang dari kecemasan eksistensialnya (yang justru potensial untuk memunculkan pertanyaan tentang diri otentik) dan mengalihkan mereka kepada pergantian cepat dari suatu hal ke hal yang lainnya (chronos). Maraknya penayangan berbagai sinetron kacangan di Indonesia lebih sering memperlihatkan ajakan untuk menyikapi hidup dengan berpikir secara dangkal dan menawarkan estetika seadanya. Juga maraknya penerbitan chicklit dan teenlit, bukannya membuat manusia tergugah untuk menyadari Ada (seperti dikemukaan Milan Kundera), tetapi malah memperparah kelupaan akan Ada. Fenomena ini sedikit agak berbeda dengan masyarakat Barat yang umumnya memiliki tradisi membaca cukup baik dan kerja profesional perfeksionis, sehingga artefak-artefak budaya popnya pun cenderung agak “berbobot” daripada artefak budaya pop lokal Indonesia.

Selain itu, dalam kekomunalan hasratnya tersebut, manusia kontemporer hampir di seluruh belahan dunia bisa merasa telah menemukan diri otentiknya melalui berbagai artefak budaya pop yang diproduksi secara massal. Tak heran apabila sering ditemui seseorang berkata—melalui atribut, pakaian serta gaya hidup yang menyertainya—bahwa inilah diri otentiknya. Padahal “diri otentik” yang diklaimnya tersebut lebih merupakan konstruksi citraan yang disodorkan strategi-marketing-kapitalistik kepada konsumennya melalui media, mal dan lingkungan pergaulannya. Terlebih lagi, bisa jadi jutaan manusia lainnya di berbagai belahan bumi mengklaim konstruksi citraan yang serupa sebagai diri otentiknya. Itulah permasalahan yang kerap kali muncul dalam budaya pop yang dipacu oleh industrialisasi massal hasrat komunal manusia kontemporer.

Dalam tradisi spiritualitas kuno terlihat bahwa penempuhan jalan spiritual yang konsisten selalu menggiring pelakunya kepada penemuan diri otentik yang sebenarnya ada di dalam diri sendiri. Bukan “diri otentik” yang diambil dari luar, yang dikonstruksi oleh citraan-citraan yang ditawarkan oleh industri dan lingkungan pergaulannya, yang sebenarnya merupakan keterjebakan manusia dalam citraan cerminnya (sebagaimana diuraikan dalam psikoanalisis Lacanian). Terlebih lagi, pada saat ini banyak wacana dan filsafat yang ternyata lahir dari sikap menyerah begitu saja kepada hasrat-hasrat yang berkembang di masyarakat kontemporer, dan mengafirmasi hasrat-hasrat tersebut dengan memberi berbagai landasan filosofis sebagai penopangnya.

Salah satu fenomena kontemporer lainnya yang terkait dengan spiritualitas adalah demistifikasi. Misalnya penggambaran sosok Isa (Yesus) dalam film “The Last Temptation of Christ” atau Iskandar Zulkarnain dalam film “Alexander”. Setidaknya kedua film ini menggambarkan kecenderungan umum untuk melakukan demistifikasi terhadap segala hal yang dipandang asing atau tidak akrab dengan kehidupan kebanyakan orang. Maka, sosok Isa pun digambarkan sebagai orang yang sebenarnya takut mati, cinta dunia, dan berhasrat tidur dengan Maria Magdalena dan lain sebagainya. Atau Iskandar Zulkarnain yang digambarkan sebagai biseks, pengecut dan senantiasa berada di bawah bayang-bayang ibunya. Gugahan semacam apa yang bisa dirasakan manusia dari narasi demistifikasi ini? Apakah akan ada penguatan psikis, inspirasi kehidupan, atau dorongan keberanian dari narasi demistifikasi seperti itu? Narasi demistifikasi seperti ini hanya akan melemahkan manusia untuk menerima begitu saja citraan bahwa manusia itu memang rapuh, lemah, oportunis, dan sama sekali tidak bisa bersikap heroik. Lantas, transformasi apa yang diharapkan dari demistifikasi semacam ini? Sementara, narasi sebenarnya sangat berguna untuk dapat membantu manusia memahami kompleksitas hidup melalui imajinasi dan impresi, ketimbang filsafat yang lebih cenderung mengubah kehidupan menjadi postulat dan kategorisasi yang lebih mengena di nalar daripada rasa.

Karenanya, narasi tentang kesucian dan keheroikan masih tetap diperlukan, bukan untuk dijadikan menara gading, tetapi sebagai inspirasi dalam menyikapi kehidupan. Nah, sikap yang perlu dikembangkan untuk zaman sekarang bukanlah asketisme dengan mengasingkan diri di hutan atau gua terpencil, tetapi asketisme seperti ikan laut yang badannya tidak menjadi asin walau pun hidup di lautan yang asin. Maksudnya, manusia bergulat dan bersentuhan langsung dengan kehidupan dunia namun tidak terwarnai oleh kehidupan dunia tersebut. Karena itu, sebaiknya manusia kontemporer membangun daya tahan individu untuk tidak mudah larut dan hanyut dalam hasrat komunal dan arus budaya massa.Wallahu ‘alam bishawwab.[]

[]

——

Catatan Kaki:

1. Permasalahan tentang faktisitas ini banyak dibahas oleh Martin Heidegger.

2. Tak ubahnya seperti orang yang sedang naik kendaraan menuju suatu tujuan yang jauh dan dengan sabar menempuhnya hingga sampai di tujuannya, dan bukannya seperti orang yang kemudian malah teralihkan oleh berbagai pemandangan indah yang dia jumpai di perjalanan tersebut, kemudian berhenti dan terlena di sana. Atau, lebih kongkritnya, adalah seperti orang yang bergelut di wilayah spiritualitas, tetapi lupa untuk mencari Sang Sumber, karena ternyata lebih asyik dengan berbagai wacana, pengalaman, dan klaim-klaimnya.

Bayangkan jika terdapat sebuah gelas yang sebagiannya berisi kopi. Adalah sia-sia apabila seseorang mencoba menambahkan air putih ke dalamnya hingga penuh agar mendapatkan segelas air putih yang jernih lagi segar. Tentunya jalan keluarnya telah terpikirkan oleh semua orang yaitu membuang terlebih dahulu semua sisa kopi hingga gelas tersebut benar-benar bersih dan barulah dituangkan air putih ke dalamnya, sehingga bisa didapatkan segelas air putih yang jernih lagi segar. Begitu pula halnya dalam belajar tashawwuf, apabila di dalam benak telah banyak doxa maka adalah sia-sia untuk membuka dan membaca karya-karya para shufi besar mana pun karena tak akan diperoleh pemahaman yang jernih dan objektif tentang apa itu tashawwuf­—apa lagi menemukan misi hidup—selain semakin besarnya doxa. Misalnya, terlanjur meyakini bahwa tarekat itu tidak perlu, bahwa mursyid itu tidak diperlukan, bahwa spiritualitas itu urusan pribadi yang tidak perlu tampak di wilayah publik, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ternyata membuang doxa tidaklah semudah membuang sisa kopi dalam gelas.

Umumnya, yang membuat manusia sulit sekali untuk menanggalkan seluruh doxa adalah ego. Pernah dalam sebuah kisah diceritakan pula tentang seseorang yang telah membaca banyak sekali buku-buku hendak datang kepada seorang guru untuk belajar mengenai dimensi esoteris dari agama. Sang guru mempersilakan orang tersebut untuk duduk dan kemudian menyuguhinya teh. Akan tetapi, sang guru menuangkan teh ke dalam gelas tersebut sampai isinya meluap tumpah keluar sehingga orang tersebut mengingatkan sang guru ihwal teh yang telah tumpah ruah tersebut. Namun, sang guru malah balik mengatakan bahwa itulah gambaran orang tersebut. Benaknya telah dipenuhi oleh banyak hal yang telah ia baca sehingga membentuk doxa, yaitu bahwasanya ia telah mengetahui banyak hal. Maka kalaupun sang guru hendak mengajarinya sesuatu, ajaran tersebut hanya akan terbuang keluar sebagaimana gelas yang telah terisi penuh dengan teh tersebut. Bukankah air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah?

‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata,

“Janganlah mencari Al-Haqq lewat manusia, namun temukanlah dulu Al-Haqq, dan kemudian engkau akan mengetahui siapa-siapa mereka yang mengikutinya (mengikuti Al-Haqq tersebut).”

Pernyataan itu menjelaskan mengenai suatu panduan bagi siapa pun yang mencari Al-Haqq karena, sebagaimana banyak tercatat dalam sejarah, manusia seringkali tertipu oleh penampilan luar dari segala sesuatu, atau juga kekagumannya baik pada penampakan maupun konsepsi.

Al-Haqq merupakan pengetahuan tentang Diri-Nya sejauh yang dapat terbahasakan; ia juga merupakan sesuatu yang signifikan bagi manusia karena Al-Haqq itu datang dari Rabb, namun Al-Haqq terlampau halus untuk dilihat, diraba, digenggam, sehingga manusia harus senantiasa berupaya membuka hatinya dalam mencari Al-Haqq. (Lihat QS Al-Qaari‘ah [101]: 6-8; QS Al-A‘raaf [7]: 8).

3. Ihwal pencarian-bertujuan-sumber ini juga pernah diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi sebagai berikut:

Pernahkah kau dengar nama segala sesuatu dari Yang Mengetahui?: dengarlah makna rahasia ‘Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.

Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakikat batinnya.

Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah “tongkat”; dalam pandangan Tuhan namanya “naga”.

Di dunia ini nama “Umar adalah pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah “mu‘min yang sesungguhnya”.

Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.

Mudahnya, perkataan Rumi tersebut bisa digambarkan seperti berikut: apabila seseorang lebih disibukkan mencari wacana-wacana baru spiritualitas, maka namanya di hadapan Tuhan adalah sang pencari wacana, apabila lebih disibukkan mencari pengalaman-pengalaman berbau spiritualitas, maka namanya di hadapan Tuhan adalah sang pencari pengalaman berbau spiritualitas, dan apabila lebih disibukkan mencari Tuhan, maka namanya di hadapan Tuhan adalah sang pencari Tuhan.

4. Untuk pembahasan yang komprehensif tentang fenomena kecepatan dalam kebudayaan kontemporer, lihat Yasraf Amir Piliang (2004) Dunia Yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital, Grasindo: Jakarta.

5. Lebih radikal lagi, Deleuze dan Guattari pun menjelaskan bahwa filsafat bukan lagi imaji pemikiran, tetapi pencipta pembedaan dengan mengeksplorasi hingga tingkat yang radikal kemampuan pembedaan akal. Bahkan, filsafat pun diposisikan sebagai penciptaan konsep-konsep, bukan pencarian kebenaran atau hal-hal yang ideal lainnya.

6. Terkait hal ini, suatu kali Rumi pernah menceritakan tentang seekor burung beo yang jinak dan pandai berbicara. Burung tersebut kepunyaan seorang pedagang toko kelontong. Karena jinaknya, burung tersebut hanya terbang di sekitar toko kelontong. Dan ucapan-ucapan beo tersebut menarik perhatian banyak orang di pasar sehingga toko kelontong tersebut menjadi ramai pengunjung.

Suatu ketika, burung beo tersebut terbang mendekati sang pemilik toko yang sedang memasak. Tanpa disengaja, si burung beo menjatuhkan minyak sehingga sang pemilik toko terkejut dan memukul kepala beo tersebut dengan sendok masak yang ada di tangannya. Pukulan tersebut mengenai kepala si beo sehingga rontoklah bulu di atas kepalanya. Beo tersebut terkejut. Kepalanya kini gundul, dan si beo pun jadi berhenti bicara. Sang pemilik toko tersadar akan hal itu dan mencoba membujuk beo tersebut agar mau bicara kembali, karena ucapan-ucapan beo tersebutlah yang menarik banyak pengunjung ke tokonya. Namun, apa daya, beo tersebut tetap diam seribu bahasa. Kemudian, keesokan harinya, ketika beo tersebut sedang bertengger di depan toko, melintaslah seorang darwis dengan kepala gundul. Tiba-tiba saja beo tersebut berteriak, “Hei gundul, pasti kemarin kamu juga menumpahkan minyak ya”.

7. Kritik terhadap SQ ini termuat dalam Journal of Psyché Vol. 1 No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan Pengembangan Psikologi – Yayasan Pendidikan Paramartha (PRMPP-YPP), Bandung, dengan artikel yang sebagian besar khusus membahas mengenai SQ tersebut. Antusiasme umat Muslim terhadap SQ ini cukup menyedihkan yang terutama disebabkan kurangnya daya kritis, kekaguman yang terlalu berlebihan terhadap sabda pamungkas Barat serta penyetaraan antara wacana Barat dan Islam yang dipaksakan secara serampangan. Ada sebuah kejadian menarik di mana seorang cendekiawan Muslim mencoba mengajukan sebuah kecerdasan ultima di atas SQ, yaitu “kecerdasan ilahiyyah”, sebuah kecerdasan yang membuat seseorang bisa menahan dirinya dari berbuat dosa karena takut kepada Tuhan. Hal ini merupakan kerancuan konsepsi yang fatal, karena apa yang disebut sebagai “kecerdasan ilahiyyah” tadi tak berbeda dengan “ihsan” dalam Islam. Lagipula, cendekiawan tersebut melupakan hal yang paling fundamental, yaitu pengertian dari kecerdasan itu sendiri; konsepsinya hanya membuat kata kecerdasan menjadi berarti apa pun. SQ bukanlah ihsan.

8. Annemarie Schimmel, (2000): Dimensi Mistik dalam Islam, diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dkk, Pustaka Firdaus: Jakarta, hal. 1.

9. Ibid. hal.2.

10. Herry Mardianto Syakir, (2001): Perbandingan Spiritual Well-Being antara Anggota dan Non Anggota Tarekat di Kota Besar: Studi Kuantitatif pada Para Anggota Yayasan Islam Paramartha – Paguyuban Thariqah Kadisiyyah wilayah Bandung, Jawa Barat, Skripsi Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi – Universitas Indonesia: Depok.

11. Levi-Strauss dalam Structural Anthropology sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 1988, hal. 49.

12. Danny Daud Setiana, (1998): Perkembangan Model Penentuan Kurs Valuta Asing: Studi Kasus Kurs Rupiah Terhadap Dollar Periode 1997-1998, Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung.

13. Herry Mardianto Syakir, op. cit.

14. Sebenarnya, sudah menjadi kelaziman dalam perjalanan sejarah lemanusiaan terjadi deviasi. Bahkan kitab suci pun sering menceritakan bagaimana pada setiap zaman selalu terjadi deviasi ajaran agama setelah sang nabinya meninggal. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir kita hanya mendapati air kotor yang tercampur banyak sampah. Begitu pula halnya dengan tarekat. Ketika sang pendiri atau mursyid awalnya meninggal, maka untuk berikutnya kita hampir tidak bisa menjamin kemurnian tarekat tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah menyatakan bahwa diambilnya ilmu itu berbarengan dengan meninggalnya sang ulama yang memiliki ilmu tersebut, dan tinggallah orang-orang bodoh yang sesat dan menyesatkan

15. Lihat QS Thahaa [20]: 77.

16. Lihat QS Al-Israa’ [17]: 13

17. Wacana tashawwuf dulu dan sekarang dihasilkan dari suatu aktivitas yang lebih mirip perumpamaan antara pemain sepakbola (para shufi masa lalu) dengan komentatornya (para pengkaji tashawwuf kontemporer). Ada sebuah kisah nyata yang terjadi baru-baru ini. Seorang ulama yang juga menggeluti bidang sosial budaya mengundang seorang pejalan tashawwuf (salik) untuk memberi materi tentang tashawwuf. Si salik tersebut presentasi tentang tashawwuf sambil sesekali diimbuhi dengan pengalaman-pengalaman suluknya. Si salik tersebut menceritakan bahwa pada tingkatan tertentu manusia bisa berkomunikasi dengan jiwanya sendiri. Tampaknya ulama cendekiawan ini kurang sreg dengan hal tersebut. Kemudian pada saat makan malam, di hadapan salik tadi dia berkata dalam bahasa Arab kepada sahabat salik tersebut, yang kebetulan bisa berbahasa Arab, bahwa dia baru mendengar kalau manusia bisa berkomunikasi dengan jiwanya. Dia tidak pernah mendapati hal itu dalam literatur-literatur tashawwuf mana pun. Kemudian, dia pun menandaskan bahwa untuk ke depan nantinya dia hanya akan mencari orang-orang yang bisa bicara tentang tashawwuf berdasarkan literatur dan bukan dari pengalaman. Setidakanya sikap ulama cendekiawan tersebut adalah representasi tentang kecenderungan sebagian besar pengkaji tashawwuf yang lebih gandrung pada literatur tanpa pernah punya pengalaman mistik langsung. Lagi pula, ulama tersebut keliru. Baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebuah buku karya Ibnu Arabi yang memperlihatkan komunikasi tubuh, jiwa, dan Ruh Al-Quds.

18. Berikut adalah rangkaian penjelasan tentang tasawuf, dan posisinya dalam Islam:

Pada suatu hari kami (‘Umar bin Khattab r.a. dan para sahabat r.a. lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya.

Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Al-Islam.”

Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Al-Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Al-Iman.”

Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.”

Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Al-Ihsan.”

Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah anda melihatNYA walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.”
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasulNYA lebih mengetahui.”

Rasulullah lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian.” (Al-Hadits)

Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan, dalam Al-Qur`an ditemukan padanannya pada istilah Iman dan Amal Shalih. Al-Islam sering dimaknai macam-macam, seperti kedamaian atau keberserahdirian, namun makna yang umum digunakan para shufi adalah berserah diri. Al-Islam berhubungan dengan melakukan amal tertentu yang telah ditetapkan Tuhan Berserah diri bukanlah bersikap pasif dan mengurung diri dalam gua untuk menghindari carut-marut dunia, akan tetapi justru bekerja keras (jihad) mencari, mengetahui, dan kemudian beramal sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Adapun Al-Ihsan berkenaan dengan sikap hati yang langsung berkaitan dengan keshalihan sebuah amal. Shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Ihsan menandaskan keterhubungan amal manusia dengan kehendak Tuhan. Bahwa menyaksikan Tuhan bukanlah dalam istilah yang sempit “melihat dengan mata”, akan tetapi mengenal Tuhan hingga kepada segala sesuatu yang Dia cintai, Dia sukai, Dia kehendaki untuk kemudian manusia amalkan. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syari’at. Namun Syari’at pun terbagi menjadi dua yaitu, pertama, Syari’at Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syari’at Bathin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang dikemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.

Bagan Keberagamaan Islam

19. Topik ini dibahas dengan sangat komprehensif oleh Zamzam Ahmad Jamaluddin T. dalam makalahnya yang berjudul Mata Air Agama-agama, PICTS: Bandung (tidak dipublikasikan).

20. Imam Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, (1983) Jilid 4, diterjemahkan oleh Prof. Tk. H. Ismai Yakub, SH, MA., C.V. Faizan: Jakarta Selatan, cetakan ketiga, hal. 5.

21. Dikutip dari terjemahan Fihi Maa Fihi oleh Herman Soetomo, sahabat saya, yang disebarkan hanya untuk kalangan terbatas.

22. Idries Shah, (1999): Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma‘rifat, Risalah Gusti: Surabaya, hal. 124-125.

23. Lihat tulisan Muhammad Sigit Pramudya & Kuswandani mengenai Struktur Insan dalam perspektif Imam Al-Ghazali dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds Vol. 1 No. 1, Agustus 2001, Paramartha International Center for Tashawwuf Studies – Yayasan Pendidikan Paramartha (PICTS-YPP), Bandung.

24. Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000) Struktur Insan dalam Al-Qur`an, Apa yang Tersentuh oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ), Journal of Psyché Vol. 1 No. 2, Desember 2000, Pusat Riset Metodologi dan Pengembangan Psikologi – Yayasan Pendidikan Paramartha (PRMPP-YPP), Bandung, hlm. 6.

25. Ibid., hal. 7.

26. Untuk penjelasan lebih detail lihat Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000), op.cit.

27. Idries Shah, (1999): hal. 85-86.

28. Zamzam A. Jamaluddin T. & T.B. Hermawan, op.cit.., hal. 8. Lihat juga QS Al-Hajj (22) : 46 tentang berjalan di muka bumi hingga memiliki hati yang berakal.

29. Ma‘rifat merupakan rahmat Tuhan terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki, yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthahharuun (tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama). Mengenai hal ini, Ibnu Atha‘illah mengatakan

“Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta’aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu.

Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”

(Ibnu Atha’illah Al-Iskandari, (2001): Al-Hikam, diterjemahkan oleh Zamzam A. Jamaluddin T. & Kuswandani beserta tim PICTS-YPP, belum dipublikasikan).

Ihwal ma‘rifat ini dibahas secara indah dan gamblang oleh Nasiri Khusrau:


Kenalilah dirimu
Kalau kau pahami dirimu sendiri,
Kau akan bisa memisahkan yang kotor dari yang suci
Pertama, akrablah dengan dirimu
Kemudian jadilah pembimbing lingkunganmu
Kalau kau kenal dirimu, kau akan mengetahui segalanya
Kalau kau pahami dirimu, kau akan terlepas dari bencana
Kau tak tahu nilaimu sendiri
Sebab kau tetap begini
Akan kau lihat Tuhan, kalau
kau kenal dirimu sendiri

Langit yang tujuh dan bintang yang tujuh adalah budakmu
Namun, kasihan, kau tetap membudak pada ragamu
Jangan pusingkan kenikmatan hewani
Kalau kau pencari surgawi
Jadilah manusia sejati
Tinggalkan tidur dan pesta ria
Tempuhlah perjalanan batin seperti pertapa
Apapula tidur dan makan-makan?
Itu semua urusan binatang buas
Dengan ilmu jiwamu bertunas
Jagalah sekarang juga
Sudah berapa lama kau tidur?

Pandanglah dirimu sendiri
Kau sesungguhnya luhur
Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang?
Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang?
Jadilah penentang berhala bagai Ibrahim yang pemberani
Ada maksud kau dicipta serupa ini
Sungguh malu kalau kau telantarkan maksud penciptaanmu ini.

(Puisi ini saya temukan dalam bentuk sesobek kertas bekas yang tergeletak di jalan, dan saya tidak tahu potongan kertas tersebut bagian dari buku atau majalah apa.)

30. Ibid., hal. 7. Artikel ini membahas secara komprehensif mengenai Struktur Insan tersebut beserta seluk beluknya. Juga lihat Zamzam A. Jamaluddin T., (1997): Misykat Cahaya-cahaya, dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds Vol. 1 No. 1, Agusutus 2001, Paramartha International Center for Tashawwuf Studies – Yayasan Pendidikan Paramartha (PICTS-YPP), Bandung.

31. Nafs manusia mempunyai beberapa derajat dan maqam, dari awal pembangkitannya hingga akhir tujuannya; dan ia memiliki keadaan-keadaan essensial dan modus-modus keberadaan tertentu. Pertama, dalam keadaan keterhubungan (dengan tubuh) nafs merupakan substansi korporeal (baca pula; material). Kemudian nafs menjadi lebih intens secara bergradasi dan berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda dari aturan alaminya hingga ia hidup dengan dirinya sendiri dan bergerak dari dunia ini ke dunia lain, hingga kembali kepada Tuhannya. Jadi nafs bermula dalam suatu (keadaan) korporeal, tapi menetap dalam (keadaan) spiritual. Hal pertama yang dibangkitkan dalam keadaannya (yang terhubung dengan tubuh) adalah kekuatan korporeal; kemudian bentuk alami; kemudian nafs yang mempunyai kemampuan mengindera dengan derajat-derajatnya; kemudian nafs yang kogitatif dan rekolektif; dan kemudian nafs natiqah. Kemudian, setelah intelek praktis, nafs memperoleh intelek teoritis sesuai dengan bermacam-macam derajatnya, dari tingkatan intelek dalam potensi hingga intelek dalam aktualitas dan Intelek Aktif—yang sama dengan Ruh al-Quds dalam ‘amr Rabb yang dinisbatkan pada Tuhan dalam firman-Nya; ‘Katakanlah: “Ruh (itu) dari ‘amr Rabbi.” (QS. Al-Israa’ [17]: 85). Derajat terakhir ini muncul hanya pada sejumlah amat kecil manusia. Lebih lanjutnya, (hanya dengan) usaha dan ikhtiar manusia tidak cukup untuk memperolehnya, karena suatu tarikan ilahiah diperlukan untuk pencapaiannya, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits: “Sebuah tarikan dari Tuhan melampaui seluruh usaha manusia dan jin.” (Mulla Shadra, [2001]. Hikmah al-Arsyiyyah, alih bahasa. Dimitri Mahayana, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal. 179-180.)

32. Masalah ini dibahas lebih jauh dalam Alfathri Adlin & Ening Ningsih, (2001): Nafs Lathifah, Ego, Kesadaran: Batasan antara Psikologi dan Tashawwuf, Journal of Psyché Vol. 2 No. 1, Juni 2001, atau untuk pengantar yang komprehensif mengenai masalah ini lihat Zamzam A. Jamaluddin T. & Tri Boedi Hermawan, (2000) op.cit.

33. Malcolm, Derek, (1991): In bed with the woman who dares, sebagaimana dikutip oleh Akbar S. Ahmed, (1993): Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, Mizan: Bandung, hlm. 224.

0 comments On Fenomena Keberagamaan dan Tashawwuf di Masyarakat Perkotaan

  • Saya pernah dengar berita, bahwa Sakti Alexander Sihite itu pernah mendakwa sebagai Rasul yang mendapat wahyu di Bogor…

  • Lihat Muka Sendiri Dalam Alam Tidur Tidak Nampak Eh!

  • Ya dimas, skr bacanya kerasanya beda ya?
    “Subhanallah walhamdu lillahi wala ilaha illallahu wallahu akbar”
    saya ingin mengumpulkan tulisan ini..

  • assalaamu’alaikum..
    punten kang Herry, salam kenal..
    sebelumnya maaf, terlanjur mengurai kata tak terucap lisan, semoga berkenan 🙂
    untuk kang Adlin juga salam kenal.

    bravo, tulisannya bagus pisan euy. setuju, kalo ada versi ‘reader friendly’ nya boljug tuh.
    mohon tipsnya bisa menulis seperti kang Herry & kang Adlin 😀
    salam kenal juga untuk ‘sahabat’ yang lain..

    seorang bijak pernah berkata:
    mereka yang ‘buta’ tidak dapat melihat
    mereka yang ‘tuli’ tidak dapat mendengar
    dan mereka yang ‘kebas’ tidak dapat merasakan
    🙄

  • Betul. Hening di tengah keramaian (tapa brata), itulah yang diajarkan para Guru Besar Kehidupan. Bukan melarikan diri ke pucuk-pucuk gunung tetapi hidup sebagai manusia dan secara manusia di tengah-tengah manusia lain.

    Ada tetapi tidak melekat.

    Masalahnya, mudah dikatakan sulit dilakukan. Ini sebuah perjuangan tersendiri, incldg me.

    Saluditos.

    http://www.risalahcahaya.blogspot.com

  • bagus banget…
    tapi harus berulang bacanya…syukron..

  • 🙂 ulasan yang bagus dan panjang dgn referensi yg jelas. kecepatan berjalan seseorang dlm mengenal Tuhannya (makrifatullah) sejatinya tidak tergantung pada lamanya ia berjalan, namun lebih kepada kualitas mujahadahnya dihadapan Tuhan, kualitas ruhani diri, dan yg terpenting adalah perkenanNya [ijinNya].

  • Mahu melihat muka sendiri di cermin perlu ada ketentuan waktu ya?
    Salam kepada ahsan.

  • Se-orang pelukis dapat melukis 1000 wajah sesiapa saja di depan matanya namun tidak pernah dapat melukis wajahnya sendiri,mengapa ya?

  • Lihat Muka di Cermin, Nampak! Lihat Muka Sendiri Dalam Alam Tidur Tidak Nampak Eh! Nampaklah.Justru yang melihat rupa itu dalam mimpi ketika tidur, siapa ya?
    salam.

  • Bacaan tasawuf ini memang aneh. Enam bulan yang lalu saya membaca ini dan berkomentar “Alhamdulillah Bagus”. Sekarang enam bulan kemudian, bacaan ini terlihat berbeda bagi saya. Sulit untuk menggambarkannya, banyak hal-hal yang dulu saya tidak mengerti sekarang menjadi lebih jelas maknanya. Dulu ngak “ngeh”
    Jadi sekarang komentarnya di upgrade menjadi “Subhanallah walhamdu lillahi wala ilaha illallahu wallahu akbar”

    Ya Allah, Rahman-Mu meliputi segala sesuatu
    Alhamdulillahirobbil Alamin 😥

  • Tapi, kalau menurut saya bisa saja sih, sehari, sejam,semenit, atau sedetik. Bukankah dulu juga Sayyidina Umar ra. mendapatkan pencerahan langsung setelah membaca beberapa ayat dari surat Thoha. setelah sebelumnya lama berada dalam kejahiliyyahan.

  • Top bgt dech pokoknya,,,,!!!!

  • Kualitas tinggi tapi kok sepi komentar ya? Apa pada ketiduran begitu selesai baca ini :mrgreen:

    coba kalo bisa dibuat versi “non-academician friendly”, pasti banyak peminatnya.

  • Alhamdulillah Bagus 🙂

Leave a reply:

Your email address will not be published.