Liqa’ (bertemu) Kami

Q. S. 10 : 7 - 8

“Sesungguhnya mereka yang tidak berharap untuk liqa’ (bertemu) dengan Kami, ridha dengan kehidupan dunia dan merasa tenteram dengannya, serta terhadap ayat-ayat Kami mereka lalai, tempat mereka adalah An-Naar karena apa yang mereka kerjakan.”

[Q. S. Yunus [10] : 7 – 8]

12 comments On Liqa’ (bertemu) Kami

  • Unt apa harus ada manusia? Jika tuhan cuma mau diakui

  • Ass.wr.wb
    Maaf ada yang ingin saya tanyakan mngenai artikel “Liga”atau bertemu ini. Yang ingin saya tanyakan disini adalah Sampai di mana atau dititik mana kita bertemu dengan “ALLAH. Terima kasih, wass.wr
    πŸ™‚

  • pernah gak ktemu sama Allah,……..

  • bissmillah………sya mau nax ama yg punya blog, tau ga yg dinamakan innalillahi wainnailaihi roojiuun,, tlng diuraikan…..

  • bissmillah………sya mau nax ama yg punya blog, tau ga yg dinamakan innalillahi wainnailaihi roojiuun,, tlng diuraikan…..

  • AL-QUR’AN, merupakan pedoman hidup dan petunjuk bagi manusia, baik ia mengerti isinya atau tidak (mgkn ini dulu yg perlu disepakati). Al-qur’an merupakan kitab suci yg dgn sendirinya akan memberikan cahaya dlm jiwa bagi siapa yg membacanya (baik ia tahu artinya atau tidak), sdh banyak tulisan yg menjelaskan ttg pengaruh bacaan Al-Qur’an thdp perubahan fisik & psikis manusia, silahkan ditelusuri πŸ˜› . Ini baru bisa dipahami jika tulisan al-qur’an tdk dianggap sbg kalimat yg brmakna “apa adanya” tp merupakan “simbol” dari firman Allah. Al-Qur’an jg merupakan miniatur dr alam semesta (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Karenanya ia akan berpengaruh secara umum bagi ummat manusia, baik bagi mereka yg beragama Islam maupun tidak (mengerti maknanya atau tidak).

    Wallahu a’lamu bis shawab …

  • Ayat-ayat Al Quran itu merupakan ayat-ayat yang “hidup” dimana isinya berlaku bagi kita manusia untuk segala jaman di dalam setiap sisi kehidupan, tidak hanya ketika masanya Rasulullah…itulah mengapa Al Quran menjadi sulit dipahami, karena sebagian besar kita hanya menjadikannya sebagai “sejarah” dan “simbol” semata…..mohon maaf jika ada salah.

    Hanya saja pertemuan dengan Allah sangatlah sempurna, tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, itulah wujud kesempurnaan manusia……Nur Insani, Nur Muhammad, Nur Allah. Kita tahu harus berpulang kemana, karena kita sudah bertemu dengan Cahaya diatas segala cahaya…Indah sekali…

  • @Dhanik:

    Salaam, dhanik πŸ™‚ Pertama sekali, bahasa qur’an berbeda dengan bahasa Arab (tidak sama persis). Kan gak semua orang Arab mengerti Al-Qur’an sampai ke hakikatnya? Tidak semua orang yang mampu berbahasa Arab tersentuh hatinya oleh Qur’an, kan? πŸ˜€

    Sebaliknya, ‘bahasa Qur’an’ adalah bahasa yang khas, yang sebenarnya bisa dipahami bahkan oleh mereka yang tidak mengerti bahasa Arab. Memang memahami kaidah bahasa Arab membantu pemahaman di awal, tapi permukaan saja. Banyak orang-orang yang dibukakan hatinya untuk memahami Qur’an, meski ia bukan orang yang lancar berbahasa Arab.

    Artikel ini mungkin membantu:
    http://suluk.wordpress.com/2006/10/09/menemukan-al-muthahharuun-hamba-yang-disucikan/

    Tentang perbedaan penggunaan kata Aku (‘ana) atau Kami (nahnu), saya nggak tau banyak juga. Tapi secara umum seperti ini.

    Penggunaan kata ‘Aku’ dipakai ketika Dia sedang menjelaskan posisinya, konteks ayatnya, ada dalam tingkat ‘Uluhiyyah’ (Ke-Ilah-an, ketuhanan), dari kata dasar ‘Ilah’. Dan penggunaan kata ‘Kami’ itu jika Dia, di ayat itu, ada dalam konteks level ‘Rububiyah’ (dari kata dasar Rabb).

    Apa artinya Uluhiyyah, Rububiyyah, Rabb, Ilah?

    ‘Ilah’ itu katakanlah bermakna Tuhan, ‘Rabb’ itu katakanlah, ‘pemelihara’.

    Analoginya begini.

    Ada seorang raja, pemegang kekuasaan mutlak, satu-satunya, di sebuah negara. Seorang raja memiliki banyak peran sekaligus. Ia seorang raja, tapi selain itu, bagi anaknya ia adalah ayah. Bagi istrinya ia adalah suami dan kekasih. Bagi masyarakatnya, ia adalah seorang pemimpin yang adil dan pemurah, misalnya.

    Ketika si raja ini, dalam perannya sebagai seorang penguasa tertinggi, sebagai simbol bahwa negara pada hakikatnya adalah dirinya, sebagai hubungan bahwa perintahnya dan kehendaknya adalah hukum yang mustahil dibantah, dan tidak ada siapa pun di wilayah kekuasaannya yang lebih berkuasa darinya, tidak membutuhkan persetujuan siapapun: ini sama dengan peran Allah sebagai ‘Ilah. Dengan kata lain, sama dengan Allah yang dalam level ‘Uluhiyah. Dalam level yang ini, Allah menggunakan kata “Aku”.

    Ketika si raja sedang dalam perannya sebagai panglima tertinggi ketentaraan, sebagai pimpinan pemerintahan, sebagai seorang ayah bagi anaknya, sebagai seorang suami, sebagai seorang pimpinan yang mengatur pekerjaan, rezeki, menentukan dan mengatur kesejahteraan ekonomi untuk seluruh rakyatnya, sebagai penanggung jawab kesejahteraan masyarakat dan mengatur segala sistem pemerintahan dan semua bawahannya untuk kesejahteraan masyarakatnya; nah, ini sama dengan peran Allah sebagai ‘Rabb’ (pemelihara, penjaga). Atau, dengan kata lain, Allah dalam level/konteks ‘Rububiyah’. Dalam konteks/level ini, Allah menggunakan kata “Kami”.

    Jadi, ketika ‘Aku’ yang digunakan, ya kurang lebih konteksnya, “Aku, ya Aku. Tidak bisa dibantah, Aku yang menentukan, Aku yang menghendaki. Tidak butuh persetujuan siapapun untuk melaksanakan kehendak Aku. Tak ada yang bisa menentang Aku. Rasakan siksa-Ku jika menentang. Namun Aku, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, yang rahmat-Ku mendahului murka-Ku.”

    Jika ‘Kami’ yang digunakan, Allah sedang dalam konteks pimpinan tertinggi suatu sistem, yang terkait dengan Dia sedang berperan sebagai apa. Dalam melaksanakan kehendak-Nya, ia bisa melibatkan sistem tertentu, bisa tidak. Sistem ini bisa sistem malaikat, sistem alam semesta, sistem takdir, sistem kenabian, sistem gabungan berbagai sistem.

    Contoh, jika Allah sedang berkehendak memberi rizki pada Dhanik agar terhindar dari kemiskinan, maka ketika itu Allah sedang ‘berperan’ sebagai Rabb yang memeihara Dhanik dari kemiskinan. Untuk melaksanakan kehendak-Nya itu, ia melibatkan sebuah jaringan raksasa yang diawali kehendak-Nya, dilaksanakan para malaikat, ditaati oleh waktu sehingga turun pada saatnya, sistem ini ‘bekerja’ sedemikian rupa sehingga pada usia sekian Dhanik lulus kuliah dengan nilai baik, usia sekian diterima bekerja di perusahaan X, disukai bos dan rekan kerja sehingga karir lancar dan gajinya besar, pekerjaan mudah, dan sebagainya.

    Terpahami gak? πŸ™‚

  • @Abdullah:

    Untuk melihat alam seperti itu, tidak perlu mengenal diri terlebih dahulu. Itu ketinggian. Fungsi sebuah upaya ‘pengenalan diri’ pada dasarnya adalah untuk mengenal Allah, dan tingkat pemahamannya jauh, jauh, jauh lebih dalam dan lebih tinggi daripada sekedar ‘melihat’ atau ‘mendengar’ alam lain, termasuk alam malakut dan alam barzakh.

    Bukankah, tidak semua orang yang melihat alam-alam itu, lalu setelahnya langsung jadi manusia bertaqwa? Itu artinya, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar ‘pengelihatan’ akan hal-hal tersebut untuk menjadikan seorang manusia bertaqwa. Ibarat anak-anak, ia melihat sesuatu, tapi belum tentu ia memahami fenomena yang dilihatnya, mekanismenya, kedudukan fenomena itu dalam tatanan alam semesta, peran fenomena tersebut bagi dirinya, kaitan fenomena itu dengan, katakanlah, agamanya, dan sebagainya.

    Kalau ‘sekedar’ (dalam tanda kutip, ya) melihat alam-alam lain tersebut, setiap manusia yang hatinya (qalb-nya) bersih, bisa. Karena satu-satunya instrumen dalam diri manusia yang range-nya mencakup dari alam jabarut (alam ilahiyah) hingga alam terendah, adalah qalb.

    Masalahnya adalah, hati (qalb) sebagian besar manusia itu buta, sehingga pengindraannya sangat terbatas.

    “bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” – Al Hajj (22) : 46

    Saya tidak tahu kalimat Ali r.a. tersebut, namun bisa jadi ia sudah memahami hakikat segala sesuatu sedemikian dalamnya di masa hidupnya yang di alam yang ini, sehingga fenomena apapun, bahkan fenomena alam barzakh, alam akhirat, surga dan neraka, hanya semata-mata sebuah fenomena saja baginya. Tidak akan menambah keyakinannya secara hakiki.

    Wassalaam.

  • masyarakat islam jawa suriname lihat barusan di tv. ternyata arah kiblat pada masjid di sana menghadap ke barat sesuai dengan arah kiblat masjid di jawa. padahal menurut ilmu bumi harusnyakan menghadapat ke timur. ada ada saja

  • Salam Mas Herry, sebelumnya mohon komen saya ndak di publish ya πŸ˜€

    saya berusaha meresapi makna Al Quran, walau bisa mengaji, saya sadar saya sama sekali buta dgn bahasa Arab. saya sering berdiskusi dengan seorang teman yg justru menambah rasa penasaran saya thd isi Al Quran. waktu saya baca bukunya Karen Armstrong ttg bagaimana munculnya surat Ad Dhuha (yg bikin saya nangis lebay). intinya (menurut beberapa buku yg saya baca), jika ingin mengetahui makna ayat Al Quran secara tepat, juga harus dipelajari kapan ayat itu turun, di mana, utk siapa dan tujuannya utk apa. misal, ayat2 Makkiah (yg turun di Mekkah) tentu berbeda dgn ayat yg turun di Madinah. makanya saya sering di buat bingung, di satu sisi Allah melaknat orang2 yahudi ato bani israil tapi di saat yang lain ada ayat2 yg menghendaki kita menghargai mereka. yg saya pelajari (mungkin masih sedikit), ayat2 yg turun di Madinah bersifat rekonsiliasi karna di sana, pada jaman Rasulullah, banyak penganut kepercayaan yg berbeda (muslim, kristen, yahudi, majusi dll).

    atau saya juga sering di buat bingung dengan tafsir2 yg ada. Misal, di satu sisi, Allah menyebut dirinya dengan Aku. di lain ayat Allah menyebut dirinya Kami (entah benar ato salah :grin:). tapi yang bikin saya berpikir, setiap Allah menyebut diriNya dengan Aku, adalah manakala ayat itu menerangkan bahwa Dia itu pencipta, penyayang, pengasih, yang sifatnya lebih “feminin”. tapi manakala ada ayat yg bercerita tentang kerusakan, kemurkaan ato kemarahan, Allah menyebut diriNya dengan Kami, ato mengutus bumi, gunung, dll untuk melakukan pengrusakan, sifatnya lebih “maskulin”. Dia gak pernah (setau saya dan barangkali salah) menyebut Aku jika Dia sedang “murka”. by all means, menurut saya, Allah itu benar2 Ar rahman dan Ar Rahim. jadi saya suka sewot kalo denger di tipi2 pas lagi ada bencana alam, orang2 pada bilang Allah sedang murka. padahal yg murka itu alam, tapi karna mereka (alam) di utus Allah dan bukan berarti Allah sedang murka.

    nah, sehubungan dengan hal di atas, saya mohon pencerahannya tentang bagaimana ayat itu turun. kenapa menggunakan kata Kami? kok bukan Aku ato Allah?

    Kalo komennya Mas Herry, bisa di publish kok πŸ˜€

    Makasih.

  • Sudah lama saya ngobrak-ngabrik (maksudnya baca-baca) blog ini ternyata isinya ok juga. Sekarang saya mau nanya nih sama yang empunya blog biarpun pertanyaan saya tidak ada kaitannya sama topik yang diposting sama yang empunya blog:
    Kalau orang yang sudah ketemu-diri, bisa nggak sih liat alam-alam yang nanti akan dijalani (alam barzakh, padang mahsyar, dll) ? Karena saya pernah baca (kalau nggak salah) Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Ketika terjadi hari kebangkitan, aku menjadi tidak lebih yakin“. Apakah ini mengandung makna bahwa Ali telah memiliki kemampuan untuk melihat alam-alam yang nanti akan dijalani? Apakah setiap orang yang sudah ketemu-diri memiliki kemampuan seperti itu?

    Thx buat jawabannya.

    Wassalam

Leave a reply:

Your email address will not be published.