Menemukan ‘Al-Muthahharuun’ (Hamba Yang Disucikan)

Muthahharuun

[TANYA]

Assalamu’alaikum, Mas Her, ijinkan saya bertanya, bagaimanakah menemukan “Hamba yang Disucikan” atau Al-Muthahharuun? Mohon maaf sebelumnya dan terima kasih atas perhatiannya.

Wassalam.
Anung Suwandaru.

(Catatan: sedikit mengenai Al-Mutahharuun ada di artikel ini.)

[JAWAB]

Wa alaikum salaam wr wb

Tentang Al-Muthahharuun

‘Hamba Yang Disucikan’ itu dikenal dalam Al-Qur’an dengan istilah Al-Muthahharuun. Hanya mereka yang sudah mencapai maqam ini sajalah yang mampu menyentuh makna qur’an yang sejati, sebagaimana disebutkan dalam Q. S. [56] : 77 – 79,

“Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali Al-muthahharuun (79).” (Q. S. [56] : 77 – 79)

Berbeda dengan umumnya, sesungguhnya ayat tersebut bukanlah perintah untuk berwudhu’ sebelum menyentuh Qur’an, sebagaimana dijelaskan di sini. Ayat itu memberi tahu tentang adanya salah satu status manusia, yaitu tingkatan Al-Muthahharuun.

Bagi mereka yang ada di tingkatan Al-Muthahharuun, Al Qur’an bukan lagi sekedar kitab yang dipahami dengan membaca kata arab secara literal, atau memahami melalui membaca terjemahannya. Bagi mereka, Al Qur’an sudah benar-benar kitab yang aplikatif dan operasional dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan sekedar kitab ‘yang tinggi’, hanya dimuliakan, tapi susah untuk dioperasionalisasikan.

Mereka sudah memahami istilah-istilah qur’ani dengan spesifik, misalnya memahami betul bedanya antara iman dan taqwa. Memahami bedanya mu’minuun, mushlihuun, muhsiniin atau muttaquun. Memahami bedanya qalb, lubb dan ‘aql. Memahami bedanya fakhsya’ dan munkar. Memahami arti ‘alif lam mim’, atau ‘Tho Haa’. Mereka bisa mengerti perbedaan ihsan dan sholeh (contoh, ihsanu ‘amala dan amilu-shalihaat). Mengerti bedanya Al-Muthahharun dan Al-Muqarrabuun.

Mereka memahami apa maksud Al-Qur’an di Q.S. [57] : 28 yang mengatakan bahwa rahmat Allah itu ada dua bagian, dan bisa menjabarkan masing-masing rahmat itu. Mereka juga bisa menjelaskan apa maksud “Allah menjadikan nur untuk kita, dan dengan nur itu kita dapat berjalan dan karenanya Dia mengampuni kita.” Nur apa yang menjadikan kita dapat berjalan dan diampuni?

57 : 28

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian rahmat-Nya kepadamu, dan menjadikan untukmu nur, yang dengan nur itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al-Hadiid [57] : 28).

Mereka memahami mengapa tulisan ‘bismillah’ (bi ismi Allah) menyalahi kaidah penulisan bahasa arab: bahwa huruf alif disambung justru di depan huruf ba. Memahami bedanya istilah ketika Al-Qur’an berbicara terminologi nafs, ruh, Ruh Al-Amin, Ruh min Amr, dan Ruh Al-Quds. Memahami makna istilah ‘yaumid-diin’ (Hari Ad-Diin); di ayat 4 surat Al-Fatihah. Memahami bedanya kafir dan munkar. Memahami beda istilah ‘thariq’ dan ‘sabiil’, walaupun sama-sama berarti ‘jalan’. Memahami siapa sebenarnya nabi-nabi asing di luar 25 nabi yang kita kenal, tapi disebut dalam Al-Qur’an (contoh: pada Q. S. [2] : 246).

Mereka juga mahami kenapa Al-Qur’an membedakan pemakaian kata Allah, Rabb, ilah, atau Hu dalam menyebut Tuhan kita. Memahami bedanya ‘malaikat hafadzoh‘ dan ‘malaikat muqarrabun‘, dan sebagainya, dan sebagainya. Banyak lagi contoh ‘keanehan’ istilah qur’ani yang samar, itu hanya sebagian kecil saja.

Bagi mereka, Al-Qur’an sudah berbicara. Sudah bisa dibaca ‘apa adanya’, tidak seperti kita yang masih memposisikan Al-Qur’an hanya sebatas ‘kitab dari langit’ tapi tidak tahu bagaimana mengaitkan isinya dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita hanya menaruhnya, dan memuliakan kitab itu, mungkin membacanya sekali-sekali. Atau mengutipnya kadang-kadang, dengan mencocok-cocokkan artinya dengan wacana yang akan kita sampaikan. Atau lebih buruk lagi, mengutip ayat untuk mengunci argumentasi orang lain, tanpa kita sendiri memahami makna hakikinya.

Tapi jika kitab itu sebenarnya adalah kitab adalah penuntun kita dunia dan akhirat, sudahkah selama ini kita merasa tertuntun dengan kitab tersebut? Sudah operasionalkah kitab itu bagi kita?

Nah, para Al-Mutahharuun sudah tidak demikian lagi dalam memposisikan Al-Qur’an dalam kehidupannya.

Kalau pertanyaannya adalah ‘bagaimana menemukannya’, itu pertanyaan yang sulit. Tapi menurut hemat saya yang dha’if ini, mungkin ada dua cara:

Cara Pertama

Carilah orang yang sudah mampu menyentuh makna Al-Qur’an. Tanyakan misalnya, kenapa qur’an membedakan istilah ‘sabiil’ dan ‘thariq’ dalam ayat-ayatnya, walaupun sama-sama berarti ‘jalan’. Tanyakan kenapa dalam penulisan ‘bismillah (bi ismi Allah)’ huruf alif disambung dengan huruf ba’, tapi alif justru diposisikan di depan ba’.

Tanyakan kenapa Allah dikatakan sebagai ‘Maaliki Yaumiddiin’, kenapa yaumiddiin (hari ad-diin), bukan ‘yaumul akhir’ (hari akhir) atau ‘yaumul qiyamah’. Tanyakan apa maksud ‘dua rahmat’ dan ‘nur’ yang membuat kita bisa berjalan dan diampuni, sebagaimana di ayat [57] : 28 tadi, dan sebagainya. Banyak ‘keganjilan’ istilah Al-Qur’an yang samar dan sulit dipahami perbedaannya satu sama lain yang bisa kita tanyakan.

Dan, kitab Al-Qur’an harus sudah sangat operasional bagi kehidupannya. Makna-maknanya jelas, terang, dan bisa membedakan satu definisi dari definisi lainnya dengan tajam dalam istilah-istilahnya.

Para ‘Al-Mutahharuun’ tidak ‘utak-atik gathuk’ mencari makna istilah dalam suatu ayat. Dia ‘memahami’. He or she simply understand.

Cara Kedua

Melalui petunjuk Allah. Kita minta ditunjuki siapa-siapa saja yang termasuk ‘Al-Mutahharuun’ itu. Hanya ingat, petunjuk Allah hanya diperoleh khusus bagi mereka yang sudah memiliki nur iman saja.

Q. S. [10] : 9, “.. mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya.”

Q. S. [64] : 11, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.”

Kenapa kita tidak pernah mendapat petunjuk kepada qalb seperti itu? Karena syarat petunjuk Allah adalah adanya Nur Iman, maka bisa jadi kita baru ber-islam, tapi belum memiliki nur iman. Orang yang berislam tidak otomatis menjadi memiliki iman. Beriman adalah setingkat di atas ber-islam.

Perhatikan ayat ini:

“Berkata seorang arab, ‘kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘kamu belum beriman, tapi katakanlah “kami telah berislam/berserah diri (aslamna)“, karena iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu.” (QS Al-Hujurat [49] : 14).

Jadi, ada orang-orang yang sudah ber-islam, tapi belum beriman.

 

Do’a supaya kita dijadikan Al-Muthahharuun

Junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw mengajarkan sebuah do’a yang dibaca setiap kali kita selesai berwudhu:

“Allahummaj’alni minat-tawwabiin, waj ‘alni minal mutathahhiriin.”

Ya Allah, jadikan hamba termasuk ke dalam ‘At-Tawwabiin’ (mereka yang bertaubat), dan jadikan hamba termasuk ke dalam ‘Al-Mutathahhiriin’ (mereka yang menyucikan diri).

Kalau kita sehari berwudhu lima kali, misalnya, lumayan kan, setiap hari lima kali berdoa minta dijadikan sebagai mereka yang senantiasa menyucikan diri, sehingga kelak benar-benar disampaikan pada status Al-Muthahharuun? Asal diucapkan dengan sungguh-sungguh dan menghayati makna doa kita itu, bukan sekedar mengoceh seperti ketika kita mengucapkan ‘apa kabar’.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu Alam Bishshawaab.

Wass. Wr. Wb

Herry Mardian


Ketr: gambar diambil dari sini.

0 comments On Menemukan ‘Al-Muthahharuun’ (Hamba Yang Disucikan)

Leave a reply:

Your email address will not be published.