Oleh Watung Arif, bersumber dari sini.
DULU, kalau saya bertanya pada guru agama tentang apa arti kata “musyrik”, besar kemungkinan beliau akan menjawab: “Orang yang menyekutukan Tuhan”. Musyrik adalah orang yang tuhannya batu, gunung, jin, setan, manusia. Orang yang tuhannya siapapun atau apapun selain “Tuhan” kita. Orang yang tentu saja bukan kita. Tapi benarkah?
Anehnya, bila kita “menanyakan” hal itu pada Al-Quran, kita akan beroleh jawaban yang lugas, namun sungguh di luar dugaan:
“…dan janganlah kamu termasuk ke dalam orang-orang musyrikiin,”
“yaitu orang-orang yang memecah-belah diin mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(Q.S. Ar-Ruum [30] : 31 – 32)
Hmm… Apakah artinya ini?
Pernah saya baca bahwa diin ini berarti agama, tapi bisa pula sebuah ‘ideal’ — tempat kita mendefinisikan diri kita per hari ini, sesuatu yang kita yakini karena sungguh tak mudah berharap tanpa suatu rasa percaya akan masa depan yang indah, suatu perspektif tentang dunia bagaimana kita musti menjalani hari-hari. Suatu jalan hidup. (millah—red).
Mari berhenti dan cerna barang sebentar, soal golongan.
Kita berkumpul dengan orang-orang sejalan, berbagi rasa dan kisah tentang jalan panjang yang tak mungkin ditempuh sendiri ini. Namun kita jadi terkesima, pada gelora dan pekik kebanggaan akan sebuah kelompok, pada definisi tentang “kami” dan “mereka”, pada “kami” golongan sang pengusung kebenaran dan “mereka” si pembuat onar dan dusta. Teman-teman yang baik, bukankah kita cuma takjub pada wajah ego kita sendiri, rasa bangga ini? Kita berkumpul, bergerak bersama berkomandokan sorak sorai, namun tiba-tiba silap dan tak lagi ingat untuk apa seluruh perjalanan besar ini dilakukan.
Kelompok. Bukankah itu cuma lubuk makan di tengah jembatan menuju Kota Seberang, teman-teman yang baik? Bukankah Tuhan, seperti kata Quran, kepada-Nya kita kembali? Barangkali kita jadi “musyrik”, orang yang lupa arah kembali lantaran “… bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”?
Dari manakah itu? Di manakah ruang-ruang di dalam diri, yang mampu memecah-belah diin ini?
Lihatlah diin yang tercerai berai itu, wahai teman-teman yang baik. Tidak di mana-mana. Di sini. Di dalam diri ini.
Tidakkah itu tergambar di hari-hari kita? Lihatlah kantor ini yang riuh oleh seribu nafsu dan prestasi, mengerubuti sujud di sela-sela Zuhur dan Asar, doa akan taman firdaus yang tiba-tiba jadi hambar untuk dihaturkan ke haribaan-Nya. Tidakkah kita merasakan itu? Tuntutan yang saling bertolak belakang antara bekerja, berkeluarga, berteman, lalu … beragama, liar meloncat-loncat di kepala kita, melempar kembali tiap tarikan nafas ini ke segala arah, setiap hari?
Diin yang semburat, seperti halnya kebanggaan pada ego dan kelompok. Mungkin itu sebuah “kemusyrikan”. Dan lelah sungguh, berpegang pada ideal-ideal, “agama-agama”, cara hidup yang berbeda-beda untuk setiap segmen kehidupan kita. Bukankah begitu?
Barangkali pula kita perlu sebuah tekad, demi menyatukan setiap untai suara dan nafas, setiap keterpisahan, kemusyrikan…
Seperti bisikan yang kerap kita camkan kala tunduk kepala ini, walau tak sepenuhnya kita mengerti:
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. (QS [6]:162)
Kerja dan sujud. Kantor dan masjid. Padang golf dan ngaji. Quran dan The Essays of Warren Buffett. Kelompok dan sendiri. Agaknya… musti padu. Menyatu. Karena, seperti kata guru agama kita, “hanya kepada-Nya kita kembali, hanya kepada-Nya kita mengabdi.” []
Catatan: Artikel “Golongan Yang Selamat Dalam Islam: Golongan Mana?” mungkin membantu untuk jadi bacaan selanjutnya.
0 comments On Menyekutukan Tuhan
MOGA SAJA
PENGETAHUAN MENUMBUHKAN KESADARAN
KESADARAN MENUMBUHKAN KEIMANAN
KEIMANAN DIBUKTIKAN DENGAN AMALAN
AMALAN DIDASARI KEIKHLASAN
KEIKHLASAN AKAN TERASA LETIH
BILA TIADA ………………..CINTA……..:idea:
ya Allah lindungi kami, lindungi kami semua dari perbuatan seperti itu
amin alluhmma amin
asslm. salah jila kita mengartikan menyatakan bahwa golongan2 yang menyatakan ide mereka adalah musrik. tidak semuanya musrik. apabila mereka menyatakan ide tersebut dengan dasar yang kuat dari alquran dan sunnah. walaupun ada perbedaan itu hanya berada pada daya pikir kepala mereka masing2.
tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tau isi hati orang lain. hanya allah sajalah yang dapat melihat isi hati manusia, dan ia lah yang berhak menyatakan orang tersebut kafir atau musrik. kita diberikan akal untuk berpikir mari kita memilah mana yang benar atau salah. dan berdoa kepada allah agar menunjuki kita mana yang benar dan mana yang bathil.
semoga allah selalu memberikan hidayahnya pada kita. amien. wassalam
Memecah belah din menjadi golongan dan bangga dg apa yg ada pd golongannya sudah pasti adalah musyrik. Karena orang begini yang ditaati bukan Allah tapi pemimpin golongan. Itu adalah ciri ta’asub. Meskipun itu Muhammadiyah, NU, PKS, Islam Jamaah, IM atau golongan apapun, selama dia bangga dengan pemimpin golongan atau keputusan2 yg dibuat oleh golongan tsb diatas hukum Allah, maka itulah musyrik.