[TANYA]
SAYA punya pertanyaan yang dari dulu selalu bernaung dipikiran saya. Pertanyaan tersebut adalah mengapa sejak dulu tidak ada Nabi yang berasal dari para ‘pemuka agama’. Kita mengetahui bahwa umumnya para Nabi berasal dari orang-orang biasa. Maksud “biasa” disini bagi saya adalah mereka bukan dari para pemuka agama yang berkutat dengan keagamaan dalam kehidupannya sehari-hari. Contohnya Nabi Musa adalah seorang raja, Nabi Isa adalah seorang pengembala domba, Nabi Yusuf adalah seorang budak yang kemudian menjadi raja. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang.
Apa yang salah dari para pemuka agama yang hidup di jaman kenabian sehingga tidak ada yang dipilih menjadi Nabi? apakah karena para pemuka agama sangat yakin dengan apa yang dipegangnya sehingga ia merasa tidak perlu lagi mencari kebenaran? Apakah karena diri mereka sudah “penuh” sehingga tidak ada celah untuk pencerahan?
Berbeda dengan para Nabi yang kehausan akan jati dirinya. Nabi Ibrahim menyendiri dibukit Thur untuk mencari Tuhan-Nya, Nabi Musa menyendiri di Gunung Sinai untuk mencari Tuhan-Nya, begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW yang berdiam di Gua Hira.
Pertanyaan diatas juga membawa saya pada pertanyaan baru, yaitu pola seperti apa yang baik dalam beragama? apakah seperti Para Nabi yang walaupun tidak begitu terikat pada dogma agama tetapi Mereka selalu mencari dan mencari arti dari segala sesuatu sehingga menghantarkan Mereka menuju Pencerahan. Atau apakah seperti para pemuka agama yang begitu kuat dan yakin bahwa mereka sudah dalam kebenaran sehingga tidak perlu lagi mencari kebenaran.
Wassalaam,
–Dimas Tandayu–
[JAWAB]
I. [Herry Mardian]
SAYA kira masalahnya bukanlah ‘pemuka agama’ atau tidak. Menurut saya, terlepas dari mereka adalah pemuka agama atau bukan, ada satu hal penting bagi para ‘orang-orang soleh’ di setiap zaman: mereka —jujur pada diri mereka sendiri.— Maksud saya, di setiap zaman, agama oleh para ‘pemuka agama’ di zamannya masing-masing sering kali terdegradasi menjadi ritual semata. Menjadi kewajiban tanpa makna, bahkan menjadi alat untuk mempertahankan strata sosial ‘keulamaan’. Itu terjadi di setiap zaman. Tapi pengecualian dari orang-orang ini, para pencari, adalah orang-orang yang jujur pada nurani mereka : mereka tidak merasa cukup dengan agama yang sifatnya doktrinasi secara dogmatik. Mereka ingin juga memahami esensinya. Mereka ingin memahami, sehingga kelak bisa mengalami, meng-experience agama, dengan benar.
Orang-orang yang menjadi soleh dan terpimpin, umumnya adalah orang-orang yang ‘jujur’ pada diri mereka sendiri. Mereka mendengarkan nuraninya: ketika ritual dirasa hanya sebagai perilaku permukaan, mereka pun berusaha memenuhi kebutuhan jiwanya untuk berusaha mencari pemahaman lebih dalam. Mereka –haus– akan makna, dan jujur: mereka tidak mengindoktrinasi diri mereka sendiri dengan hal-hal yang nampak agamis tapi sebenarnya tidak memahaminya. Mereka jujur bahwa mereka sebenarnya —tidak memahami— ritual mereka.
Allah, melalui sabda Rasulullah saw, telah menjanjikan kehadiran ‘mujaddid’ (para pembaharu agama, tetapi bukan Nabi) pada setiap seratus tahun. Para pembaharu agama ini bukan membawa agama baru, tapi mereka adalah orang-orang yang berusaha mengembalikan manusia kepada hakikat agama (ad-diin, bukan semata-mata religion), ketika agama telah terdegradasi menjadi hanya ritual lahir tanpa hakikat, maupun sebaliknya jika hanya menjadi ritual batin tanpa syariat.
Ciri yang kedua, saya perhatikan, bahwa mereka tidak mudah ‘patah’ jika dianggap berbeda secara sosial. Jika norma sosial ‘kesolehan’ saat itu adalah A, tapi hati nuraninya merasa bukan, mereka tetap mendengarkan nuraninya untuk mencari, ‘benarkah soleh itu A?’ dan tidak takut dengan celaan orang lain. Contoh yang terkenal, adalah Salman al-Farisi : beliau anak pendeta penyembah api, naik pangkat menjadi penjaga api, keluar dari agama Majusi, lalu berguru pada ‘mursyid’ nasrani beberapa kali hingga semua gurunya itu wafat.
Semua gurunya, menjelang wafatnya menyuruh Salman beralih pada guru yang lain. Di pendeta terakhir, ia pun diberi tahu bahwa akan lahir nabi penutup dari tanah kurma, dan ciri-cirinya… ia pun mencarinya. Dan ia menemukannya, meski harus menjadi budak terlebih dahulu. Bayangkan, Salman yang bangsa Persia, sebuah negara superpower pada zamannya, menjadi seorang budak bangsa Arab, bangsa yang ketika itu dianggap ‘primitif’ dan hanya tahu peperangan antar suku.
Al-Ghazali, tadinya ia adalah seorang rektor (dalam usia 20-an) karena kecerdasan ilmu agamanya. dalam usia belasannya saja sudah tidak ada pertanyaan mengenai dalil ilmu agama yang tidak bisa dijawabnya. Tapi ia jujur pada nuraninya: pengetahuannya akan dalil-dalil dan logika berfikir tidak menjawab kehausannya, tidak menjelaskan arti dari semua hafalan di kepalanya. Ia pun menjalani disiplin baru : penyucian qalb (tasawuf), demi mendapatkan pemahaman esensi yang ‘diturunkan ke qalb‘, dan bukan lewat buku maupun tutor.
Masih banyak contoh lainnya.
Allah, sahabat-sahabat, bukan memperhatikan seberapa banyak dalil yang bisa kita hafalkan, seberapa banyak kita bisa menjawab persoalan ‘agama’ (dalam tanda kutip). Allah memperhatikan qalb seseorang: apakah seseorang butuh untuk memahami atau tidak. Apakah ia butuh pemahaman atau tidak. Apakah ia butuh Allah untuk menuntun dan mengajarinya, atau tidak.
Jika orang hafal ribuan dalil tapi tidak merasa butuh untuk mengetahui lebih dalam (karena sudah merasa pakar, misalnya) atau malah menjadi sombong karena hafalan dalil-dalilnya, ya Allah pun akan membiarkannya saja. Tapi jika seorang hamba memiliki hati yang bertaubat (makna ‘taubat’ : kembali pada Allah, ‘gandrung’/butuh pada Allah, di artikel ini), maka Allah pasti akan menuntunnya pada kebenaran, walaupun awalnya dia adalah seorang penyembah api seperti Salman al-Farisi.
Bukan pula kesucian, Karena tidak ada manusia yang bebas dari dosa kecuali Muhammad SAW. Orang-orang soleh pun bukannya tidak pernah berdosa. Tapi mereka butuh Allah, dan mendengarkan kebutuhan nuraninya itu. Justru karena memahami bahwa dirinya penuh dosa selanjutnya ia ingin menjadi orang baik, ingin dijadikan Allah baik. Orang yang mengerti bahwa dirinya berdosa, permohonan astaghfirullah-nya bukan lagi sekedar basa-basi di bibir atau ritual sehabis shalat. Ia sepenuhnya menyadari bahwa ia butuh ampunan-Nya
Sebaliknya, orang yang merasa dirinya sudah baik, atau merasa tidak pernah berbuat dosa (lahiriyah, padahal dosa batin seperti prasangka buruk, tidak sabar, sombong, merasa lebih dari orang lain, dan lain-lain kita semua pasti punya), tentu tidak merasa butuh untuk di-taubatkan. Bagi orang ini, asma Allah Al-Afuw (Maha Pemaaf), Al-Ghafuur dan Al-Ghaffar (Maha Mengampuni), dan At-Tawwaab (Maha Menerima Taubat, Yang Memiliki Taubat) tentu tidak ada implikasinya sama sekali kapadanya.
Kadang Allah ‘menjebloskan’ orang ke dalam dosa, supaya ia menyadari rasa tidak nyaman dengan hatinya yang kotor, dan ia menjadi butuh Allah. Di sini dosa menjadi rahmat, dan bukti bahwa ‘dalam segala hal ada Rahmat Allah’, dalam dosa sekalipun ada rahmat. Tapi sekali lagi, jika ia tampak begitu alim dari luar, tapi hatinya tidak ‘menghadap Allah’, ya Allah pun tidak akan menghadapkan diri-Nya kepada orang itu, walaupun dia seorang ulama di mata masyarakat.
Oh ya, satu hal yang penting, saya kira, bahwa sudah sunnatullah bahwa para ‘pencari yang jujur’ ini tidak akan pernah jadi kaum mayoritas. Mereka selalu menjadi pengecualian di setiap zaman, ketika mayoritas ‘agama’ pada zaman itu telah terdegradasi menjadi hanya ritual. Tertulis:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Q. S. 6 : 116).
Apa yang menjadi mayoritas belum tentu benar. Contoh, dalam waham mayoritas, pengertian istilah ‘kafir’ adalah mereka yang berbeda agama, dan pengertian istilah ‘syuhada’ adalah mereka yang mati dalam berperang melawan musuh Islam. Padahal itu tidak sepenuhnya tepat, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini.
“Agama datang sebagai hal yang asing, dan akan kembali menjadi hal yang asing,” demikian sabda Rasulullah yang termasyhur. Itu berlaku di setiap zaman, hingga akhir zaman. Agama pada awalnya adalah utuh, mencakup lahir dan batin, ritual dan esensi (hakikat). Itu awalnya menjadi hal yang asing. Kini, orang yang mencoba beragama dengan kedua aspeknya, lahir dan batin, ritual dan esensi, juga telah menjadi ‘agama yang asing’ dan aneh di mata masyarakat.
Jadi saya kira, masalahnya bukanlah ‘pemuka agama’ atau tidak, tapi apakah seseorang, apapun statusnya, dengan kejujuran hati kecilnya benar-benar merasa butuh kepada Allah atau tidak.
Jika seseorang merasa dirinya kaya tentu tidak akan merasa butuh uang, orang yang merasa sehat tidak akan merasa butuh berobat. Demikian pula orang yang merasa telah mengerti agama tentu tidak akan merasa butuh belajar agama. Diri kita harus dibuat mengerti dulu bahwa ia sesungguhnya fakir, maka barulah ia akan butuh Allah.
Semoga bermanfaat,
Wass Wr Wb.
–Herry Mardian —
II. [Imam Suhadi]
SAYA pernah berpikir seperti Kang Dimas, sekitar tahun 1997 lalu. Sebagaimana sungai, maka ia akan jenih di hulu. Dan ketika di hilir, maka sudah keruh dan tidak jernih lagi.
Demikian pula dengan ajaran ilahiyah. Pada zaman Idris as, melalui Idris as Allah mengajarkan sebuah ajaran yang jernih. Setelah Idris as, wafat, berpuluh-puluh tahun atau beratus-ratus tahun kemudian, maka kejernihannya akan berkurang, bahkan hilang. Ketika itu maka diutuslah Nuh as untuk kembali menjernihkan pesan-pesan-Nya.
Namun ketika Nuh as menyampaikan pesan-pesan Allah kepada kaumnya, jawaban pemipin-pemipin kaumnya malah demikian:
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya :”Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS. 11:27)
Pemimpin kaum pada saat itu, bukan hanya dalam urusan sosial, namun juga pemimpin dalam urusan ke-Tuhan-an.
Demikian pula kehadiran nabi Ibrahim dengan Namrud, nabi Isa dengan rahib-rahib Yahudi, dsb, yang berlatarbelakang bukanlah pemuka agama dari kalangannya.
Belajar dari sejarah ini, hal yang sangat penting —menurut saya— adalah kesadaran bahwa sangat mungkin sekali apa yang kita pahami sekarang belum tentu benar. Dan mungkin saja kebenaran itu ada di luar sana, dari orang-orang yang mungkin tidak bergelar profesor, doktor atau tidak bergelar sarjana dalam bidang agama.
Nah semangat untuk belajar, tidak melihat siapa yang mengatakan, tapi lihat apa yang dikatakannya, adalah hal yang harus kita miliki, agar kita dapat menemukan kebenaran sejati.
Wass Wr Wb.
–Imam Suhadi–
0 comments On Para Pencari Yang Jujur (Dengan Dirinya)
Ikutan Curhat:smile:
Ternyata pemahaman agama yg saya dapatkan selama ini masih jauh dr kata cukup dan mungkin saya masih belum memahami makna Islam yang saya yakini ini, tapi apakah jalan yg kita tempuh harus seberat itu mas? kita hrs berani dikucilkan oleh orang byk?
terus kenapa saya terlahir di dunia sebagai orang Islam “turunan” bukan seseorang yg mampu menggali makna Islam sehingga saya dapat meyakini dengan sebenar2nya agama Besar ini???
ada apa dibalik semua rencana besar Allah ini khususnya terhadap saya dan mungkin jg dialami oleh teman2 saya yg lain??
Bagaimana caranya mencari arrti ini semua??:oops:
Apakah Allah akan menjawab semua pertanyaan saya yang hina ini??:sad:
HIDUP tak akan pernah mencapai finalitas definisi, akan terus berproses, Sang Pencari sadar dedaunan di dalam hutan tak akan mungkin tergenggam. Sementara mereka ‘para pemegang hegemoni’ telah mematikan tuhan dalam kitab & pengetahuan mereka
mohon maaf.. saya orang baru yang membaca artikel dan koment disini. saya tertarik, pada koment kang zal dan kang wisnu. dan menurut saya… antara kafir dan tidak nya saya, itu tergantung pada nilai “percaya” saya pada Alloh. kalau diibaratkan, seperti benang dibelah tujuh… berarti saking lembutnya, yang tahu hanya diri nya sendiri (itu pun kalo dia diberi sadar oleh Alloh) dan Alloh. jadi antara seruan “Wahai orang-orang kafir….” kalo saya membaca ayat itu, artinya.. didalam diri saya sedang dalam keadaan kafir. jadi kalo kita masih diseru demikian, sudah tentu Alloh Yang Maha Murah masih mengasihi saya dengan seruan-Nya. Apakah pantas… dengan Maha Kasih Alloh.. saya menyangkal kekafiran saya? yang akan dituntun kepada jalan supaya tidak kafir? saya rasa lebih baik perbaiki “percaya” saya kepada Alloh.
mohon maaf kelancangan saya ikut serta dalam koment ini. saya ingin menambah pemahaman saya yang dangkal. mohon sharring nya dari akang2 atau teteh2 semua. terima kasih.
Mas Wisnu, jika Allah memanggil saya, dengan panggilan wahai orang kafir…, jika dikehendakinya niscaya saya akan datang…?..karena itupun terlalu mulia bagi saya….:cry:
maaf kalau saya salah, ada nabi dari pemuka agama seperti Nabi Zakaria dan Nabi Yahya
Jujur memang berat sekali ya.. Waktu kita gagal dalam menghadapi suatu ujian, apakah dengan mudah kita akan mengakui ketidakmampuan kita? Waktu ada orang yang tiba-tiba ngomelin kita karena kesalahan yang kita buat, apakah kata ‘maaf’ yang pertama terucap atau justru serangan balasan yang bertubi-tubi? Waktu Allah memanggil : “Wahai orang-orang kafir….” apakah mudah untuk menjawab “Daulat Tuanku, ada apa dengan hamba?”.
Mas Dimas, boleh ya ikut bermajelis, Allah menyiratkan bahwa diriNYA dijulukinya Yang Maha Menunjuki, Yang Maha Mengatur, bahkan “…tidak selembar daun kering yang jatuh yang tidak tercatat dalam kitab yang nyata..”, lamunan yang terlamunkan di saya, menggambarkan bahwa saya umpama domba bodoh, yang digirng memasuki areal kandang, baik sadar maupun tidak sadar, jadi siapa yang ditunjuki beruntunglah dia, dan bentuk ditunjukipun beragam bisa terlihat maupun tidak, seperti gunung yang menurut Allah berjalan sebagaimana awan berjalan, namun kita lihat bahwa gunung tetap pada tempatnya…
rasanya segala sesuatu apapun baik yang dzohir maupun tidak adalah bentuk nyata ciptaannya, apakah dia pemuka maupun tidak, semua bermanfaat yang menurut Allah bagi pemerhati ciptaannya, pertemuan demi pertemuan ibarat mengumpulkan batu, semen dan bahan bangunan lainnya, yang suatu saat akan terbentuklah suatu bangunan, namun kualitas bangunan tidaklah selalu sama, namun perputaran waktu sepertinya bangunan-bangunan akan semakin baik dan berkualitas
mohon maaf atas persepsi ini, terima kasih