Herry Mardian, yayasan Paramartha.
Apa sih sebenarnya makna ‘ihsan’ itu? Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?
Kenapa sangat penting membahas arti kata ‘ihsan’? Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), ‘Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.
Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.
Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:
“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ‘sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina, perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?
Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniin sih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuat baik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….
Contoh lain, sebuah hadits:
‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq (diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 – Hadits hasan shahih).
‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.
Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ‘ihsan’ itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yang seberapa baik?
Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.
Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”
Jawab Rasulullah,
“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.
Nah, itulah ‘ihsan’. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.
Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Mahapenyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.
Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzat yang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.
Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah, tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orang yang ada di ihsan kualitas kedua ini?
Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ‘suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).
Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluq adalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.
Nah, dari arti ‘ihsan’ yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.
Jadi kalau Qur’an menyebut ‘orang-orang yang ihsan‘ atau muhsiniin, itu kita bukan? Lha monggo kita tanya ke nurani kita masing-masing.
Oh ya, kita sekarang jadi lebih mengerti makna dari kalimat “kematian yang ‘husnul-khatimah’” kan? (‘khatam’ : akhir, selesai, penutup)
Semoga kita dijadikan-Nya termasuk kedalam Al-Muhsiniin dan diberi-Nya kematian yang husnul-khatimah.
Semoga bermanfaat.
Wassalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Herry Mardian.
Catatan: saya belum termasuk Al-Muthahharuun 🙂
—
* Terimakasih kepada Kang Dodi Salman, for the idea. Nuhun, Kang.
* Gambar diambil dari inhsanetwork.org
0 comments On Pengertian ‘Ihsan’
Sekedar hanya ingin sharing pengertian IHSAN yg saya dapat dr guru saya bhw arti dari “ka annaka” disini bukan “seperti” ato ” seolah olah”, ttp diartikan ” pasti”, hal ini merujuk pada pengertian ketika Nabi Sulaiman memindahkan istana ratu bikis dan kemudian ditanya ” apakah ini istanamu” maka ratu bilkis menjawab ” ka anna huwa” disini artikan ” iya itu (pasti) istanaku”, krn gak mungkin ratu bilkis lupa dgn istananya… Oleh karena itu, guru saya menerangkan/menafsirkan hadits td dgn ” Mengabdilah kepada Allah engkau “pasti/seharusnya” melihatKu (dgn mata bathin/bashiroh) dan jika engkau tidak bisa melihatnya (dgn mata lahirmu), maka Allah melihatmu (dgn kekuasaannya/biqudratillah)… Demikian uraian dr guru saya.
asalamualikum saudara herry says boleh bagi saya petunjuk saya benar ingintahu
siip dah,, bersyukur dah dgn orang yg punya sikap kaya gitu baik ahir batinn.. 🙂
Pingback: Kenapa Al-Qur’an Tidak Jelas Sistematikanya? | Suluk : : Hanya Sekeping Cermin…™ ()
Pingback: Junaid Al-Baghdadi: Makna ‘Berjihad dalam Kami’ | Suluk : : Hanya Sekeping Cermin…™ ()
seandai nya stiap muslim(orang yg mngaku islam)merasakn pngawasan dr yg maha mengawasi…tp gak bkal deh kaya ny,.org ana N ente cklian aj yg mujur masih kturunan islam..cba saja bapak sm mak ana ateis,.!msih brthan kah ana…sungguh Maha smprna klmat Allah..bhwa sanya Allah akn mmenuhi neraka dg jin dan manusia…
…………………SEMPURNA……………….
Alangkah indahnya jika kita merasa selalu ada Allah melihat mengawasi segala perbuatan kita di dunia
Subhanaallah…
Terima kasih atas pencerahannya…
Sekalian ijin untuk di share ke yang lain…
🙂
Nama saya Ikhsan 🙂
alhamdulillah, subhaanallah, begitu besar karunia-Nya yang telah menuntun hamba-hamba pilihan untuk meramaikan dunia cyber dengan misi dan visi dakwah untuk mensyi’arkan kalimatul haq, blog islami yang bagus, dan usaha yang kreatif, trimakasih mas herri, hanya Allah yang akan membalasmu dengan kebahagiaan abadi kelak di kampung akhirat, silahkan mapir di rumah kami http://www.rohiminalasror.com untuk berbagi kajian islam.
Alhamdulillah….trima kasih juga to:a aris…..:idea:
saya orang yang baru belajar islam walaupun saya islam dari kecil tapi pengetahuan saya tentang islam sangat dangkal.
mas, bolehkan artikelnya saya copy di blog saya?. makasih sebelumnya.
bersyukurlah orang yang sdh ada pada level ini…
Salam, semoga rahmatNya membimbingmu,
Setiap firmanNya mengandung ‘kebenaranNya’, semua ber tingkat yang dipahami sesuai maqom masing2 hamba, dg gambaran ‘piramida’.
Begitu jg dg Ihsan, mulai dari perbuatan yg bisa dipahami sampai dg ‘ruh ihsan’ yg telah d semayamkan Allah pada hamba2 yg telah dipilihNya.
Jangan terlalu mengartikan sesuatu dg pemahaman akal, krn itu akan gugur maqom berikutnya, itulah pemahamanNya, itulah ilmuNya, dari kesempurnaanNya.
-salam-
isf
Boleh, Nans. jangan lupa cantumin link ke sumber aslinya ya 🙂
ihsan!!!!!…bersyukurlah orang yang sdh ada pada level ini….dan saya yakin semua orang bisa sampai kesana….asal serius belajar ihsannya (inget dan sadari pengawasan-NYA..terus sampai napas kita yg paling akhir)…nice posting Bang Herry…tks…eh mas blh ga saya link postingannya buat di blog or FB saya…
wahhh,,,,:grin:
terimakasih bnyk mas herry mardian.. sy jd tw arti ihsan yg sesungguhnya,,:lol:,, karena selama ini yg sy tw ya.. ihsan itu artinya baik..:mrgreen:.. smoga qt selalu mndpatkn hidayah & perlindungan dari Allah SWT.. aamiin… assalamu’alaikum…
😀
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya…..”
berarti mas,klo ihsan yang dimaksud sperti diatas orang tersebut sudah ternasuk gol orang yang berada ditingkatan Hakikat atau Ma’rifat y mas?! ….seperti engkau melihat-Nya…. artinya sama dengan seseorang yang sudah mampu melihat hakikat dr sesuatu g mas?!seperti nabi Adam As yang mampu memberikan pendidikan pertama kali kepada malaikat tentang hakikat Asma-Nya, dsb….
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Awas! Allah melihat kita sholat, apa kamu lihat,apa yg kamu ingat dalam sholat. Calakalah orang yg sholat, yg lalai sholatnya.
Mari tingkatkan Islam kita sampai “memandang Allah dengan Allah” Iqra, warobukal akram
kirim kirim banyak :neutral:artikel tentang ad diin, terima kasih
Assalamu’alaikum Wr., Wb.
Isi blog yg bagus…
Mau tanya, kl pengertian ahsan apa y? Syukron..
menurut saya ihsan bermakna penyatuan. dalam salah satu hadits qudsi dikatakan, “…Allah menjadi matanya untuk dia melihat, menjadi telinganya untuk dia mendengar, menjadi mulutnya berbicara,..
ini mudah untuk diteorikan, namun sangat sulit untuk diterapkan. dari luar menembus bathin…
aku suka banget atas paparan mas herry jelas dan sangat mudah dimengerti. boleh saya kutip ya soalnya besok ada mata kuliah tentang ihsan. he..he:
Boleh, boleh 🙂 link ke sini ya.
Assalamu’alaikum,
Saya senang membaca artikel di atas, sangat komunikatif dan bersahabat sekali. :grin::grin:
Mas Harry, boleh kan artikelnya ana kutip?
ASSALAMU’ALAIKUM MAAF APAKAH BOLEH SAYA TANYA MASALAH MAKNA KALIMAT BISMILLAH YANG LEBIH MENDALAM
kolbog kera, apa itu bukannya awalnya awal….:mrgreen: eh..eh..engga deng,
jalan
islam-iman-ihsan-islam(sempurna) menuju “innalillahi wa innalillahi rajiun.”
rasakan-dengan diam
Kenali dirimu
kenali tempatmu
Ihsan itu lautan tak bertepi dan cahaya matahati tak pernah tenggelam dibarat atau ditimur. Memburu dan diburu menjadi satu. Salat Asar diwaktu zuhur kata Imam Junayd dan basahi bumimu dengan lautan wudu.
Tayamumlah dengan batu dan debu jika belum terjumpa dengan kolam air ihsan. Tiga panah dilepaskan, satu jatuh pada mu sekarang dan dua lagi menunggu mu membuka bicara dan siapa pemanahnya ? Termasuk ke gua Marifa ?
Dari catatan buluh Abu Zhulixin
hampir lusuh dan rosak
Terima kasih atas atensinya, dan jangan lupa ‘Makna Ad-Diin’ nya Mas Herry.
‘Makna Iman’ dan ‘Makna Islam’… wah, mbak.. itu puanjaaaa….ng sekali. Saya dan teman-teman, saking bodohnya, belajarnya lama banget 😳 dan itu pun belum paham sepenuhnya sampe sekarang 😀
Tapi pingin juga sih, membahasnya dalam tulisan yang simpel dan mudah dipahami. Hanya saya bingung gimana nulisnya ya, supaya jadi satu tulisan pendek? 🙄
Anyway makasih yah, idenya dan sarannya.. dan kunjungannya
Sungguh berterimakasih sekali pabila Mas Herry berkenan melengkapinya dengan ‘Makna Iman’ + ‘Makna Islam’ sehingga lengkaplah ‘Makna Iman’ + ‘Makna Islam’ + ‘Makna Ihsan’ = ‘Makna Ad-Diin’. 😉