Herry Mardian, Yayasan Paramartha
Kata ‘ulil-albaab’, secara awam sering diterjemahkan sebagai ‘orang yang berakal’ atau ‘orang yang berfikir’. Pengertian ini tidak salah, tapi mungkin sudah saatnya kita memahami arti kata ‘ulil-albaab’ dengan lebih presisi lagi, sehingga setiap kata ‘ulil-albaab’ yang kita baca dalam Al-Qur’an akan menjadi lebih berbunyi dan bermakna lagi di dalam hati kita.
Sebagai contoh, kita lihat dua ayat dari firman Allah berikut ini:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi) terdapat pengajaran bagi ‘ulil-albaab (diterjemahkan menjadi: bagi orang-orang yang berakal)…” Q.S. [12] : 111
“Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah ‘ulul-albaab (diterjemahkan: orang-orang yang berakal) saja yang dapat mengambil pelajaran.” Q.S. [13] : 19.
Kita semua berakal, punya nalar untuk berfikir. Tapi, jika ‘ulil-albaab dipahami hanya sebagai ‘orang-orang yang berpikir’, ayat di atas seperti menjadi tidak akurat. Sebab pada kenyataannya, tidak semua orang dari kita yang berakal ini, mampu mengambil pelajaran dari kisah para nabi.
Pada kisah Nabi Ibrahim, misalnya, bagaimana mungkin Beliau tega untuk membawa, dan kemudian meninggalkan istrinya Siti Hajar r.a. yang baru melahirkan Ismail as, dan Ismail as sendiri ketika itu masih seorang bayi merah, di tengah padang pasir mekkah yang tandus, tanpa bekal dan tanpa air, selama sebelas tahun lamanya? Sementara Nabi Ibrahim sendiri setelah itu justru pulang ke istrinya yang lain, Siti Sarah r.a., dan baru kembali menyusul mereka sebelas tahun kemudian.
Tindakan beliau seakan-akan sangat tidak berperi kemanusiaan (dan jelas melanggar HAM!), walaupun pada akhirnya, dalam kehausan yang amat sangat, Ismail kecil menendang-nendang pasir dan muncullah dari sana sumber air zamzam. Siti Hajar yang berlari bolak-balik ke sana kemari mencari air antara bukit Shafa dan Marwa, hingga sekarang diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji. Baru bertahun-tahun kemudian Ibrahim a.s datang kembali ke tempat itu, untuk membangun Ka’bah bersama Ismail dan Hajar. Berabad-abad kemudian, tempat itu menjadi sebuah kota bernama Mekkah.
Kita, saat ini mungkin bisa memahaminya setelah tahu segala ‘akibat’ dari perbuatan Nabi Ibrahim yang meninggalkan anak istrinya di padang pasir tandus seperti itu. Bayangkan jika saat itu kita adalah orang tua dari Siti Hajar as, sementara menantu kita malah meninggalkan anak perempuan kita dan cucu kita yang baru lahir di sebuah padang pasir tandus begitu saja, sementara menantu kita itu malah kembali ke istri pertamanya. Apa kira-kira perbuatan kita sebagai orang tua siti Hajar?
Atau, jika ‘ulil-albab dikatakan sebatas ‘orang yang berakal’ saja, bukankah banyak sekali orang muslim yang berakal tapi tidak memahami sikap Rasulullah yang harus beristri sembilan orang, atau tidak memahami kenapa hukum waris yang ketentuannya ada dalam Al-Qur’an, bahwa pihak laki-laki harus mendapat dua kali dari bagian pihak wanita? Atau, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an yang kita tidak memahami maknanya lebih dalam, selain terjemahannya saja. Padahal kita semua berakal.
Kita semua memiliki akal, tapi mengapa tidak semua dari kita mampu ‘menangkap’ pelajarannya seperti dikatakan ayat tadi? Apakah ayat itu salah?
Ayat itu tidak salah. Hanya pada titik seperti ini kita perlu memahami makna ‘ulil-albaab dengan lebih presisi. Sebab sebenarnya tidak semua orang yang berakal adalah ‘ulil-albaab, dan ‘ulil-albaab tidak sepenuhnya sama dengan ‘orang yang memiliki akal’.
Jadi apa ‘ulil-albaab’ itu?
Dalam tasawuf, struktur diri setiap manusia, diri kita ini, sesungguhnya ada tiga bagian (silahkan baca posting lain tentang struktur manusia di website ini). Akan saya ulas sedikit secara singkat saja.
Yang pertama, adalah jasad. Jasad itu, ya jasad kita ini, dengan segala indranya dan seluruh alam semesta yang termasuk dalam ruang lingkup kejasadan kita ini. Termasuk juga di dalamnya adalah aspek psikis dan psikologis, seperti emosi, kecemasan, dan lain sebagainya. Aspek psikis dan psikologis ‘hanya’ selapis di bawah dunia jasad. Umumnya manusia di dunia ini menganggap dirinya adalah diri yang jasad ini.
Yang kedua, adalah yang disebut dengan jiwa, atau dalam terminologi Al-Qur’an disebut dengan Nafs. Nafs inilah yang sesungguhnya adalah diri kita yang sebenarnya. Itulah sebabnya kenapa ayat-ayat Qur’an, jika menyeru kepada diri kita yang sejati ini, diseru dengan ‘yaa ayyuhan-nafs, ya ayyuhan-nafsul muth’ma’innah, dan sebagainya. Bobotnya lebih dalam dan lebih khusus dari sebutan ‘yaa ayyuhan naas’. Nafs inilah yang dimintai pertanggungjawabannya pada saat kematian kelak, sementara jasad sendiri akan hancur menjadi tanah. Nafs ini pula yang pernah bersaksi di hadapan Allah di zaman azali dulu (Q.S. 7 : 172).
Kenapa sebagian besar menusia tidak ingat bahwa ia pernah bersaksi di hadapan Allah dulu? Kenapa sebagian besar manusia tidak mampu melihat malaikat sebagaimana orang-orang suci, atau memahami hakikat dari sebuah takdir, bingung dengan kehendak Allah, dan lain sebagainya? Karena pada sebagian besar manusia, dirinya yang sejati masih terletak pada diri yang jasadnya, yang baru lahir mungkin hanya beberapa puluh tahun terakhir ini. Sementara nafs nya yang suci masih terkubur jauh di dalam sifat kejasadiyahannya, dan tidak diberi kesempatan untuk muncul, bangun, dan mengambil alih kendali diri.
Nafs berbeda dengan hawa-nafsu. Hawa nafsu lebih kepada, katakanlah secara sederhana, merupakan aspek kejiwaan yang terwarnai oleh aspek kebumian jasad. Jumlah hawa nafsu ini banyak sekali, dan sesuai dengan yang memberinya pengaruh (jasad), semua hawa nafsu mencintai apapun yang sifatnya keduniawian. Hawa nafsu, sesuai dengan namanya, adalah ‘hawa’ dari nafs.
Aspek ketiga, adalah Ruh. Ini tidak akan dibahas di sini karena terlalu panjang. Tapi intinya, Ruh adalah yang menghidupkan nafs, sebagaimana energi yang ada dalam baterai. Nafs sendiri, kehadirannya menghidupkan jasad. Maka secara tidak langsung, Ruh juga menghidupkan jasad. Dalam topik ‘ulil-albaab ini, Ruh tidak perlu kita bahas.
Dalam elemen jasad dan nafs tadi, Allah memberi perangkat untuk hidup, untuk mencerap pengetahuan dan memahami dunianya, alam tempat ia diperintahkan untuk hidup, sesuai dengan levelnya.
Pada jasad, Allah memberi indra seperti mata, telinga, dan lain sebagainya. Dari indranya, jasad memperoleh informasi dan fakta. Informasi dan fakta ini diolah dalam sebuah perangkat yang disebut akal, atau akal nalar (dalam otak). Akal merupakan perangkat nomor satu untuk mengolah segala bentuk informasi yang sifatnya material, lahiriyah dan mekanistik. Sesuai dengan level jasad, maka sedalam apapun tingkat pemikirannya, tidak akan jauh dari aspek lahiriyah-material, karena dunia akal jasad atau nalar ini adalah dunia material kita ini.
Pada nafs, Allah juga memberi perangkat yang ‘sama’. Hanya saja, sesuai dengan alamnya, dunianya, indra maupun akal yang ada pada level nafs ini paling sesuai untuk mengolah informasi yang juga ada dalam ruang lingkup dunianya, level alam malakut, atau katakanlah secara sederhana, alam batiniyah. Nafs pun mempunyai akalnya sendiri, cara bernalar sendiri. Perangkatnya dinamakan ‘lubb’.
Jadi ‘lubb’ adalah akal bagi sang jiwa, sebagaimana nalar adalah akal bagi sang jasad. Sedangkan wilayah pemikiran akal jasad yang terinspirasi, terilhami, terwarnai, atau tertuntun dari pemikiran nafs, disebut fu’ad. Fu’ad hanya membawa ke arah pemikiran yang benar, karena diilhami atau dipengaruhi lubb (akalnya jiwa).
Lubb sendiri, dalam Al-Qur’an maupun oleh Al-Ghazali, disamakan dengan apa yang disebut sebagai ‘aql. Jadi, Lubb = ‘Aql. Sedangkan akal (nalar) jasad kita, adalah ‘aql (atau Lubb) dalam aspek yang terdangkal, dalam aspek yang terendah, dalam aspek yang ‘paling lahiriyah’nya.
Akal, lahiriyah dan batiniah, bisa memikirkan apa saja (walaupun jawaban akal jasad belum tentu benar). Karena itu, dikatakan bahwa akal itu menghadap ke segala arah, karena bisa mulai memikirkan apapun. Karena menghadap ke segala arah, model keseluruhan akal itu seperti bola. Lubb atau ‘aql adalah ‘akal atas’, nalar atau otak adalah ‘akal bawah’. Fu’ad adalah aspek dari akal atas.
Gambar jelasnya adalah seperti ini.
Dengan demikian, untuk memahami pertanyaan-pertanyaan batin yang sifatnya hakikat, seperti memahami takdir, hakikat kehidupan, makna batiniyah ayat-ayat Qur’an, maupun perilaku ‘aneh’ para Nabi seperti kisah Nabi Ibrahim tadi, perangkatnya bukan nalar. Nalar tidak diciptakan untuk memahami hal-hal hakikat atau batiniyah. Nalar diciptakan untuk membantu manusia dalam mengolah hal-hal yang sifatnya lahiriyah.
Perangkat untuk memahami pertanyaan-pertanyaan ilahiyah, pertanyaan-pertanyaan hakikat tersebut, adalah Lubb (atau ‘aql), sebagaimana Allah memang menciptakannya untuk itu. Jangkauan ruang lingkup pemikiran lubb adalah jauh, jauh, jauh lebih luas daripada jangkauan pemikiran akal nalar.
Lalu mengapa sebagian besar manusia tidak juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan hakikat atau batiniyahnya sendiri? Karena sebagian besar manusia tidak (atau belum) punya lubb. Sebagaimana disebutkan tadi pada sebagian besar manusia, jangankan ‘aql nafs-nya, nafs nya sendiri pun jauh terkubur di dalam kejasadiyahannya sendiri.
Maka dari itu, tujuan awal tasawuf adalah membebaskan manusia dari perbudakan jasadiyahnya sendiri. Ini yang disebut tazkiyatun-nafs, atau menyucikan nafs. Semakin seseorang nafs-nya menjadi suci dan lubb-nya semakin hidup, maka dengan sendirinya ia akan semakin memahami persoalan-persoalan hakikat, persoalan batiniyah, maupun persoalan malakutiyyah. Bukan hal yang aneh apabila seseorang pada tingkatan ini tiba-tiba memahami sesuatu tanpa belajar dari siapapun atau tanpa membuka buku, misalnya. Ini karena lubb-nya sudah hidup dan bekerja.
Lalu apa hubungannya dengan makna ‘ulil-albaab?
Nah, yang dikatakan ‘ulil-albaab dalam Al-Qur’an, maknanya adalah mereka yang telah memiliki lubb, bukan sekedar memiliki akal (nalar). ‘Ulil-albaab adalah mereka yang sudah menggunakan lubb-nya untuk memahami persoalan. ‘albaab hubungannya dengan lubb.
Dan karena oleh Al-Ghazali lubb disamakan dengan ‘aql, maka setiap kata ‘ulil-albaab’ dalam Al-Qur’an juga mencakup apa yang disebut dengan ‘ya’qiluun’, mereka yang menggunakan ‘aql. Sekali lagi, dengan ‘aql, bukan akal. Dengan Q (‘aql), bukan dengan K (akal).
Akal rasional hanyalah aspek paling dangkal dari ‘Aql, sebagaimana akal jasadi, sebrilian apapun, hanya merupakan aspek paling dangkal dari akal jiwa yang kita miliki.
Inilah yang disampaikan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min Adh-Dhalal: ketika ia telah sampai pada ujung kemampuan rasionya dalam mencari Kebenaran sebagai seorang filosof , ia beralih menapaki jalan sufi. Dan ternyata, pada akhirnya ia mengatakan bahwa pengetahuan rasionalnya yang telah dipelajari seumur hidupnya, luasnya tidak sampai seruas jari jika dibandingkan pengetahuan yang terbuka kepadanya setelah Beliau berdisiplin menjalani jalan ini.
Kembali ke contoh ayat di awal tadi. Hanya para ‘ulil-albaab sajalah yang bisa mengambil pelajaran dari manapun, dan mereka mampu memahami ayat-ayat Al-Qur’aan yang sifatnya mutasyabihaat (mengandung makna yang terselubung, tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud). Untuk memahami ayat-ayat mutasyabihaat bukan dengan pemikiran rasional atau nalar, tapi dengan lubb. Kita perhatikan ayat berikut:
“Dia lah yang menurunkan Al-Kitaab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itu lah pokok-pokok isi Al-Qur’an. Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu datang dari sisi Rabb kami.”
Dan tidak akan dapat mengambil pelajaran kecuali ‘ulul-albaab.”
(Q.S. [3] : 7)
“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah ilah yang satu, dan agar ‘ulul-albaab dapat mengambil pelajaran.”
(Q.S. [14] : 52)
Jika kita manusia yang sudah memiliki akal, tapi masih bingung dengan takdir kita yang mungkin tidak menyenangkan, dengan musibah, dengan makna hidup, dengan perilaku para Nabi yang tidak sesuai dengan kehendak kita, bingung dengan kehidupan, bingung kenapa harus ada bencana, atau tidak mampu memahami ayat-ayat mutasyabihaat dalam Al-Qur’an, artinya kita memang berakal, tapi belum termasuk ke dalam golongan ‘ulil-albaab.
Pada akhirnya, sebagai penutup, saya lampirkan puisi Jalaluddin Rumi di bawah, yang terkait dengan bahasan kita ini.
Wallahu ‘alam,
Semoga bermanfaat. []
: : : : : : :
Pengetahuan Langsung
(terjemahan dari Matsnawi – I, 3445)Mari, ketahuilah bahwa indera, pengetahuanmu, serta imajinasimu hanya setinggi batang bambu yang dipanjati anak-anak.
Pengetahuan spiritual manusia lah yang membumbungkannya ke atas: pengetahuan indrawi malah akan menjadi beban.
Tuhan telah berfirman: “Seperti keledai yang membawa kitab, * ” betapa berat pengetahuan yang tidak diilhami oleh-Nya.
Namun, apabila engkau akan membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, maka beban itu akan terangkat, dan engkau akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas dari Anggur-Nya, wahai engkau yang puas dengan tanda?
Apa yang lahir dari sifat dan nama? Khayalan, namun khayalan yang menunjukkan jalan menuju Kebenaran.
Tahukah engkau arti nama, jika tanpa hakikat? Pernahkan engkau memetik mawar dari sederetan M, A, W, A, R ?
Engkau telah menyebutkan nama itu: pergi, carilah sesuatu yang diberi nama. Bulan itu di langit, bukan di air. Itu hanya bayangannya.
Sudilah engkau berangkat ke balik nama dan huruf,
sucikanlah dirimu sepenuhnya.Dan saksikanlah, dari lubuk hatimu sendiri, seluruh pengetahuan para Nabi. Tanpa buku, tanpa belajar, tanpa pengajar.
—
* Q.S. Al-Jumu’ah [62] : 5.
Referensi :
Adlin, Alfathri dan Ahmad Shalahuddin Zulfa; Tashawwuf, Makna Hidup, (Pos)Modernitas: Pencarian Manusia di antara Tarikan Al-Haqq dan Jebakan Waham, dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, vol. 2 no 1, 1999 : PICTS.
Al-Ghazali, Kegelisahan Al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual, Yogyakarta, Juni 1998, Pustaka Hidayah.
Katsir, Ibnu, Kisah Para Nabi; 2001: Pustaka Azzam.
Rangkuman Pengajian Calon Salik 15 April – 25 November 2000; Bandung: Yayasan Islam Paramartha.
0 comments On Pengertian ‘Ulil-Albaab’
Ijin kopas mas Herry, saya ingin koleksi di blog aku, terima kasih, salam…:D
Pingback: Kenapa Al-Qur’an Tidak Jelas Sistematikanya? | Suluk : : Hanya Sekeping Cermin…™ ()
asslmkum, syukrann telah menambah ilmu ana 🙂
terimah kasih atas tanggapannya kang adji….saya asli makassar tapi tidak dimakassar skarang. Setelah merenung ada suatu pertanyaan lagi yang muncul yaitu pengetahuan, pemahaman dan pengenalan. Kalau pengetahuan, dengan membaca artikel ini saya bisa tau, dengan merenung n bertanya sebab akibat saya jadi paham tapi pengenalan gimana? saya akan kenal sesorang kalau saya pernah bertemu dengan orang itu atau setidaknya tau betul seperti apa dia. Saat dia muncul dengan yakin saya jawab dialah oranya. Dari tahap pemahaman saya masih belum paham maksud dari kang herry n mas adji mengenai yang disuruh mengenal siapa n dan dikenali siapa serta yang akan bertanggung jawab kelak siapa?
Terima Kasih mas adji atas sarannya:smile:, simple sarannya tapi sangat dalam arti nya….
Mudah2an Allah selalu merahmati hamba-hambaNya, Amin…:smile:
😥
Pada dasarnya saya juga, masih sering terbelit ” hawa dan syahwat “.
Yah… spendek pengetahuan saya sih…kadang bukan hanya Allah saja yang membolak balik kan hati tetapi kita sendiri yang gak bisa mengendalikan ke dua ” oknum ” tadi sehingga hati kita jadi jungkir-balik antara taat dan ingkar kepada-Nya.
Yang penting adalah semangat Taubat, om !..trus mohon rahmat pertolongan Allah.
kembali ke QUR’AN:!:
Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:21) maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi. (QS. 2:64) Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja. (QS. 4:83) dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari kekafiran. (QS. 10:86).:mrgreen:
Mas Herry, saya mau menanyakan beberapa hal, mungkin pertanyaannya sangat tidak berbobot buat mas herry yang notabennya sudah berada “diatas”.:smile: Saya masuk agama Islam karena keturunan, tapi alhamdulillah sekarang (20 th) saya mengerti beberapa hakikat manusia berada di jagad bumi ini. Saya mau nanya, kenapa di dalam hati saya selalu ada pergolakan hebat antara mengabdi kepada Allah dan ingkar kembali kepadaNya, maksud saya adakalanya saya (alhamdulillah) bisa bener2 mengabdi tapi terkadang tidak bertahan lama, saya selalu kalah dalam pergulatan melawan godaaan makhluk jahanam,:oops: dan setelah itu saya menyesali kenapa g bisa ngalahin hawa nafsu. Saya akui saya masih jauh dr kata zuhud, tp saya pingin sekali bener2 beriman padaNya. Kenapa Allah membolak-balikkan hati hambanya ya mas??
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, dan klo tidak keberatan dan ada waktu untuk membalasnya bisa langsung dikirim ke alamat e-mail saya g mas??
de_noey2k5@yahoo.com
Mudah-mudahan Allah memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi hamba-hambaNya, Amin.
Ijin kan saya ikut nimbrung kang hery…:cool:
hehehe, wawan suku bugis apa makassar ? silahkan kalau mau diskusi ke Kajian Bina Qalbu Makassar (binaqalbu@gmail.com atau http://binaqalbu.blogsome.com).
Yang wawan kemukakan falsafah “Se’reji Tau Rupa Tauji Jai” spendek pengetahuan saya bisa bermakna “satu orang tapi per perangai (sifat dan watak serta tingkah laku)banyak atau berbagai rupa”.:roll:
Mengenai jiwa…saya, wawan, ataupun mas hery tentu berbeda ” rupa, wujud, qualitas bahkan derajat kedudukannya di hadapan Allah ” tergantung tingkat keimanan dan ketaqwaan masing masing.
Silahkan lihat Al Qur’an “Dan tiada satu pun dari kami melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu (maqamuum ma’aluum), dan sesungguhnya kami benar-benar bershaf-shaf” (QS Ash Shaaffaat [37]: 164 – 165).
Jadi pendapat “awam” bahwa di hadapan Allah semua sama tidak dapat di generalisasi begitu saja.:!:
Bang herry, kalau jiwa saya dengan jiwa bang herry sama tidak?…..
Saya sering dengar dikampung saya kata2 seperti ini dalam bahasa aslinya “Se’reji Tau Rupa Tauji Jai” -> Se’reji = cuman satu, Tau = manusia, Rupa Tauji Jai = Wajah manusia yang banyak.
Diri yang sebenarnya itu jiwa. Kita diperintah untuk mengenal ‘diri yang sejati’ ini.
Bang hery, Yang disuruh dikenal apakah jiwa atau yang diperintah untuk mengenal adalah jiwa?……….Berkaitan dengan “diri yang sebenarnya”
Wa alaikum salaam wr wb.
Tergantung dasar terminologi yang dipakai. Tapi pengertian itu berbeda, karena jasad tidak sama dengan nafs.
Kalau dalam pengertian awam/umum, istilah ‘nafs’ disamakan dengan ‘diri’. Tapi dalam tasawuf, nafs adalah ‘jiwa’, bukan diri. Komponen yang membentuk manusia utuh ada tiga: jasad, jiwa (nafs) dan ruh. Nafs berbeda dengan hawa-nafsu, hawa nafsu adalah ‘hawa-nya nafs’, semacam by-product dari penyatuan nafs dan jasad.
Pengertian umum, Tazkiatul jasad lebih dekat kepada thaharah (wudhu, dll). Tazkiyatun-Nafs mencakup jasad, sekaligus jiwa. Jadi penyucian ‘diri’, lahir dan batin.
Dalam tasawuf, tazkiatun-nafs adalah ‘penyucian jiwa’, melakukan disiplin-disiplin untuk menyucikan jiwa.
Assalamu’ alaikum wr. wb
saya adalah mahaiswa jurusan sejarah peradaban islam di IAIN sunan ampel. sekarang saya lagi mengerjakan skripsi yang berhubungan dengan tasawuf yaitu mengenai tazkiayat jasad( penyucian anggota tubuh) seprti mata, telinga dll akn tetapi saya bingung apakah pengertian taskiyat al-jasad itu sama dengan tazkiyat an-nafs?
kalau ruhul qudus?? Apakah semua orang punya? Ataukah, semua orang punya tetapi hanya sebatas potensi yang perlu diaktifkan? Nah, kalo emang gitu, gimana dong supaya aktif?
allaahuakbar
saya coba ikutan jawab nih. mudah-mudahan ini membantu meringankan beban kebingungan mas G.
secara pribadi saya mulai mencoba melihat terjemahan ayat agak lebih kritis, karena di beberapa ayat tertentu kadang tidak diterjemahkan apa adanya, tapi diungkapkan dengan makna lain, tapi malah tidak tepat maksudnya.
istilah nafs dalam ayat-ayat bagi saya itu tetap konsisten bermakna soul=jiwa. untuk nafsu, dalam pengertian umum, lebih tepat diistilahkan dengan hawa, atau kemudian kita mengenalnya dengan hawa nafsu (QS 25:43, 45:23)
karena itulah pemahaman kita tentang 12:53 akan lebih terbuka, yang dalam ayat tersebut menjelaskan tentang kondisi/kualitas jiwa seseorang yang dipenuhi oleh keburukan demi keburukan, yang dalam istilah tradisi tasawuf dikenal dengan tingkat maqam paling rendah.
tingkat kedua adalah nafs lawwamah (QS 75:2) sebuah kondisi jiwa yang terkadang berbuat dosa, tapi juga terkadang berbuat baik.
tingkat tertinggi manusia adalah, tatkala jiwanya adalah nafs muthmainnah, (QS 89:27) itu yang dimaksud dengan jiwa yang diridlai Rabb.
sedangkan syahwat, bisa di lihat di QS 3:14, akan ditemukan di teks arab aslinya istilah syahwat tersbut dan apa saya yang dikenai istilah tersbut, namun diterjemahannya hanya dituliskan “keinginan” saja,
untuk lebih lengkapnya, mari kita tunggu uraian kang herry, tentang struktur insannya.
wallahu a’lam bish-shawab.
Kayaknya perlu tulisan sendiri yeuh.. 🙂 Nanti saya bikin tulisan baru ‘struktur insan’ deh… tapi paling cepet saya baru bisa mulai nulis lagi hari senin.. sabar yah om.
Makasih banget pertanyaannya.. 🙂
Kang,
Saya dah baca yang struktur insani, dan baca yang ini jadi pengen nanya.. apakah Nafs yang dibicarakan itu adalah – Nun Fa Sin – ? Kalau iya Nafs dibeberapa Surat ada yang berbunyi Nafss seperti yang Kang Heri utarakan di postingan ini, namun ada juga yang berbunyi sebagai nafsu (keinginan untuk melakukan hal yang tidak baik) dari (QS 12:53).
Masih di Ayat tsb, Nafs pun ada yang berarti Nafs jelek (Nafsu) ada Nafs yang diridhoi Rabb. Apakah nafsu yang diridhoi rabb itu adalah sama dengan Jiwa?? apakah hasrat untuk berbuat baik/keinginan untuk berbuat baik itu adalah Nafsu yang diridhoi itu? ataukah Niat baik itu sama dengan “perasaan” yang dimiliki Sang Jiwa?
Terus agak OOT si tapi masih menyangkut si (QS 12:53) kenapa Syin Ha Wau Ta (Nafsu Birahi) begitu ekslusif sehingga dibedakan dengan Nafs yang NAFSU??
Ahh banyak banget… dari satu ayat saja pertanyaan saya banyak banget, maaf yah…
Wa ‘alaikum Salaam Wr Wb.
HATI NURANI
Yang disebut ‘nurani’ itu, Om Genzi, adalah ‘rembesan’ dari apa yang dirasakan oleh qalb-nya jiwa kita yang terasa hingga ke level jasad kita sekarang.
Contoh, kita bisa saja ingin mengambil uang di kantor, tapi entah gimana, ada sesuatu dalam hati kita yang membuat kita tidak ingin melakukannya. Ini karena pada dasarnya nafs kita tidak ingin kita melakukannya, dan ketidak-inginan itu kita rasakan hingga ke level jasad kita ini. Inilah namanya nurani. Nurani adalah setitik rembesan qalb yang naik ke perasaan kita. Kadang kita bisa tiba-tiba terharu, tiba-tiba ingin shalat, tanpa sebab. Ini bisa jadi adalah apa yang dirasakan oleh jiwa kita, somehow, saking inginnya si jiwa akan hal itu karena selama ini kita tidak pernah memperhatikan kebutuhan ‘makanan’ jiwa itu, maka terasa hingga ke jasad kita.
Tidak semua orang masih hidup nuraninya. Ini karena semakin seseorang mengabaikan nuraninya sendiri, semakin lama kita menjadi tuli dengan nurani kita sendiri. Sebagaimana anak kita, jika kita selalu mengabaikan pendapat maupun kebutuhannya, lama-kelamaan anak kita akan ‘mati rasa’ dan tidak perduli lagi.
Nurani belum sampai ke fu’ad, atau ‘aql. Nurani baru ‘perasaan sang nafs’ (dalam tanda kutip), belum sampai ke nafs yang mampu berfikir dan memberi pertimbangan. Itupun hanya setitik yang merembes hingga ke jasad kita. Tapi belajar mendengarkan nurani kita sendiri adalah langkah awal untuk hidup benar. Walaupun demikian, nurani belum bisa dijadikan panduan karena nurani masih sangat tersamar diantara keinginan hawa nafsu/syahwat dalam diri kita.
Ibaratnya, jika kita adalah seorang guru SD dan satu kelas yang kita pimpin ada 48 orang murid. Nurani hanya satu orang, diantara semuanya, dan 47 orang lainnya adalah hawa nafsu dan syahwat. Ketika semua berbicara bersama, kita masih samar membedakan mana dari nurani dan mana yang bukan. Hanya kadang ketika syahwat dan hawa nafsu kita sedang melemah, kita bisa mendengar nurani dengan agak jelas.
Jadi, kurang tepat kalau yang Om Genzi bilang tadi, bahwa mengetahui adalah dengan nurani. Nurani belum sampai level ‘mengetahui’. Nurani baru merasakan indikasi, ‘kayaknya salah nih’… tapi kita belum bisa membuktikan (baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain) salahnya di mana.
Kita harus belajar mengidentifikasi mana suara nurani, mana yang bukan.. karena nurani sumbernya dari ‘jeritan’ jiwa kita yang ingin didengar. Sayang sebagian besar orang mengabaikan nuraninya sendiri hingga akhirnya nuraninya tidak lagi bersuara, bahkan hilang terkubur dalam dosa-dosa.
Gambar jelasnya seperti di bawah ini. Gambar ini adalah penyederhanaan, dan bukan berarti bahwa qalb sama dengan nurani. Sekali lagi, nurani adalah ‘rembesan’ apa yang dirasakan qalb yang sampai ke level jasad kita.
Assalamualaikum Kang Her,
Kadang kita suka mengetahui bahwa perbuatan A adalah salah, namun kita suka melakukannya (nafsu) , nah selama ini saya berfikir bahawa “mengetahui” ini adalah nurani.
lalu apakah nurani itu? apakah dia Akal (dg K) atau Aql (dengan Q), atau kah Fua’d yang terpengaruhi?? karena sring kita secara berjehidupan menenggelamkan nurani demi berlayar dengan aman di samudera kehidupan ini?
Mohom pencerahan
Wassalam
G