Pesta Rakyat

“Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku,” Sabda Rasulullah.

Allah menjadikan Isra’ Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Nisyfu Sya’ban, malam penentuan takdir seorang manusia selama setahun kedepan, terjadi di bulan Sya’ban. Dan Allah meletakkan Laylatul Qadr, malam penentuan kadar diri seseorang di mata Allah ta’ala, ada di bulan Ramadhan.

Rajab, bulan Allah, ibarat bulan pesta jiwa dan hati yang diadakan Sang Raja sendiri. Jamuan-Nya di bulan ini adalah jamuan bagi jiwa dan hati yang langsung dari Sang Raja sendiri. Jamuannya adalah jamuan yang termewah dan paling istimewa. Tidak semua orang peduli dengan Rajab–isyarat bahwa Sang Raja memang tidak mengundang semua orang: Yang Mulia hanya mengundang mereka yang sudah sangat ingin menemui-Nya. Tanpa pengumuman besar-besaran, undangan-Nya pun disampaikan secara diam-diam: lewat bisikan hati para tamu-Nya. Pesta Rajab adalah sebuah pesta yang diadakan diam-diam, undangan terbatas, namun khidmat dan anggun.

Tapi Sang Raja amatlah murah hati. Bagi mereka yang terlewat perjamuan pertama, masih ada perjamuan kedua: Sya’ban, bulan Rasulullah. Perjamuan Sya’ban ibarat perjamuan yang diadakan Sang Raja untuk pesta pangeran kesayangannya. Para tamu bukanlah tamu Sang Raja, namun tamu Sang Pangeran kecil. Jamuan jiwa dan hati yang tersedia, meski tak kalah indah dan mewahnya, namun tentu bukan hidangan yang khusus bagi para Raja. Hidangan perjamuan lebih disesuaikan apa yang disukai oleh kawan-kawan sang pangeran kecil. Namun di pesta ini pun, belum semua orang mau hadir dan menghargai undangan-Nya untuk Sang Pangeran kecil.

Tapi Sang Raja adalah raja yang paling pemaaf dan pemurah. Bagi mereka yang tak menghadiri pesta Sang Pangeran, Dia masih mengadakan pesta lagi: pesta perjamuan ketiga–Ramadhan. “Ramadhan adalah bulan umatku,” sabda Rasulullah.

Ramadhan adalah pesta rakyat. Kali ini tidak diadakan di istana, namun di alun-alun kota. Semua orang boleh datang. Tua, muda, bangsawan atau rakyat jelata, ulama atau pendusta, kyai atau pencuri, semua ada, bercampur baur. Siapa sang tamu tak lagi penting: Sang Raja hanya ingin menjamu jiwa dan hati semua orang. Semua boleh datang: jiwa dan hatinya boleh ikut bergembira dan bersenang-senang. Hidangannya, meski bukan lagi hidangan yang khusus bagi para raja maupun para pangeran: hidangannya adalah makanan rakyat berkualitas terbaik, yang dibagikan cuma-cuma. Semua orang berebut dengan senang dan tertawa-tawa.

Ramadhan, adalah sebuah pesta yang panas, penuh debu dan keringat. Semua orang berkumpul dan berpesta. Makanan dan minuman disajikan tumpah ruah. Pesta yang tidak anggun, namun merakyat, apa adanya, dan sangat menyenangkan bagi semua orang. Sebuah pesta rakyat yang meriah.

Namun sayangnya, di pesta yang ketiga ini pun, belum semua orang bersedia memenuhi undangan Sang Raja. Tidak semua orang mau dijamu oleh-Nya. Belum semua orang mau agar sepenuh dirinya, lahir dan batin, hadir menjadi tamu-Nya.

Sahabat, pesta ketiga ini hanya akan berlangsung sepuluh hari lagi. Namun sayangnya, justru di hari-hari terakhir ini pikiran dan hati kita akan penuh dengan selain-Nya: dipenuhi oleh belanja, persiapan mudik, alokasi THR, oleh-oleh, rute mudik dan penyewaan mobil, atau buka bersama sebelum Ramadhan berakhir.

Pesta Sang Raja, sahabat. Sudah tiga kali Dia mengundang kita. Tidak, Dia tidak akan marah jika kita tidak juga memenuhi undangan-Nya. Dia Raja yang amat pemaaf. Namun kali ini, apakah belum tumbuh juga rasa malu kita kepada Dia, yang setiap tahun dia mengundang kita tiga kali, dan setiap tahun tiga kali pula jiwa dan hati kita tidak menghadiri undangan-Nya?

Sepuluh hari terakhir. Mari kita taruh dulu semua selain Dia dari hati. Kita hadapkan diri dan hati kita sepenuhnya, lahir dan batin, hanya pada Dia. Hanya sepuluh hari. Belum tentu kita akan sampai pada pesta tahun depan, kan?

Tentu, kita yang harus bekerja, tidak bisa kita tinggalkan. Yang harus mengurus kendaraan dan anak, tetaplah lakukan. Bukan kita harus mencampakkan itu semua. Raga boleh beri’tikaf jika memang bisa. Satu jam atau satu minggu, terserah saja. Namun setidaknya, Di hari-hari terakhir pesta ini, hadapkan hati kita sepenuhnya pada Dia–dalam aktivitas apapun yang sedang kita lakukan. Di kantor, di jalan, atau di masjid.

Silakan i’tikaf jika mampu. Jika belum mampu, satu jam untuk-Nya pun tak apa. Belum mampu di masjid, lakukandi kamar. Yang penting, singkirkan selain Dia dari hati, dan lakukan dengan hati kita yang menghadap sepenuhnya pada Dia.

Itulah inti i’tikaf: bukan bertapa menjauh dari masyarakat, tapi membangun masjid dalam hati kita sendiri. Hingga kelak, dalam apapun kesibukan yang sedang kita lakukan, panggilan untuk menghadap-Nya akan selalu berkumandang dari sana.

Selamat menghadiri pesta-Nya.

(Herry Mardian)

4 comments On Pesta Rakyat

Leave a reply:

Your email address will not be published.