Cinta adalah mazhab dan agamaku.
Saat mataku melihat wajah Sang Sahabat,
semua derita menjadi riang.Ini, Rajaku,
kupersembahkan diriku pada-Mu.
Sejak awal hingga akhirnya
harta kekayaanku hanya diri-Mu.
Awal akal dan jiwa ini,
ketika jarak bermula
adalah bersama-Mu.
Engkaulah ujungnya, dan segala diantaranya
Aku cuma bisa bergerak ke arah-Mu.Jalanku adalah dari-Mu, menuju-Mu.
Lidahku bicara tentang-Mu, dalam diri-Mu.
Walau begitu, tanganku tak bisa menyentuh-Mu.
Kenyataan ini mempesonakan daku.Tak bisa lagi kusebut diriku “aku”.
Tak bisa lagi kusebut siapa pun “engkau”.
Tak bisa kubilang “ini hamba” dan “itu raja”.
Itu takkan masuk akal.Sejak kudapatkan cinta dari Sang Sahabat
alam ini dan alam berikutnya menyatu.
Kalau kau bertanya tentang awal yang tak berpangkal
dan akhir yang tak berujung,
itu cuma siang dan malam bagiku.Tak bisa lagi aku berduka
atau hatiku bermuram durja,
karena suara kebenaran telah terdengar,
dan kini aku selalu dalam pesta pernikahanku.Jangan biarkan aku mengembara dari cinta-Mu,
jangan biarkan aku meninggalkan pintu-Mu,
dan jika aku kehilangan diriku,
biarlah kutemukan dia sedang bersama-Mu.Sang Sahabat menyuruhku kemari :
Pergi dan lihatlah dunia, katanya.
Aku telah datang dan menyaksikan
alangkah indah ia ditata.
Tapi yang mencintai-Mu tak berhenti disini.Dia katakan pada para hamba-Nya,
Esok kan Kuberi kalian surga.
Esok yang itu adalah hari-ini ku.Siapa lagi yang mengerti kebenaran derita ini?
Dan andai pun terpahami,
itu takkan terkatakan.
Maka kuhadapkan wajahku pada-Mu.Engkaulah kehidupan dan alam semesta,
harta yang dirahasiakan.
Segala raih dan lepas adalah dari-Mu.
Tindakanku tak lagi jadi milikku.Yunus menghadapkan wajahnya pada-Mu
melupakan dirinya.
Dia sebut setiap kata bagi-Mu.
Engkaulah yang menjadikannya bicara.
—
by Yunus Emre (1238-1321)
Diterjemahkan oleh Herry Mardian, dari “The Drop That Became The Sea”, Kabir Helminski (trans.)
: : : : : : :
Sekelumit kisah Yunus Emre
Suatu ketika, di sebuah desa kecil di Anatolia, tahun 1230-an. Ketika itu seluruh Anatolia sedang terkena bencana kelaparan, tak terkecuali di desa kecil itu. Warga desa meminta Yunus kecil, seorang anak gembala, untuk pergi meminta sedikit biji-bijian bagi warga kampungnya ke Desa Bektasi, satu dari sedikit tempat di Anatolia yang masih memiliki makanan. Hanya ia lelaki di kampungnya yang masih cukup sehat untuk bepergian jauh.
‘Desa Bektasi’ di Turki sebenarnya merupakan sebuah paguyuban sufi yang dipimpin oleh Haji Bektasi, seorang wali yang terkenal di Turki pada masa itu. Paguyuban ini setelah sekian lama berkembang menjadi sebuah desa kecil. Yunus, seorang anak kecil yang pekerjaannya menggembala kambing, dipinjami seekor keledai, dan berangkatlah ia ke sana. Tak lupa, selama dalam perjalanan ia mengumpulkan buah-buahan liar yang masih tersisa, sekedar sebagai penukar biji-bijian di desa Bektasi nanti.
Haji Bektasi, sebelum Yunus tiba, telah mengetahui siapa anak kecil yang akan mendatangi pintu kampungnya ini. Ia berpesan kepada penjaga pintu kampung, bahwa jika Yunus tiba, tawarilah ia satu dari dua hal: mau biji-bijian atau ‘barokah’ dari mursyid mereka, Haji Bektasi.
Setelah perjalanan panjang, sampailah Yunus ke pintu kampung Bektasi. Sebagaimana diperintahkan, penjaga pun menanyakan padanya, mana yang ia lebih suka: biji-bijian atau ‘barokah’ khusus dari Haji Bektasi. Yunus kecil, belum pernah mendengar kata ‘barokah’ sebelumnya. Ia tidak paham ‘kewalian’ atau apapun mengenai sufi. Lalu dengan polosnya, ia bertanya, apakah ‘barokah’ ini berat, sebanyak apakah ‘barokah’ jika ditukar dengan buah-buahan liar, dan kalau terlalu berat ia ragu apakah keledainya akan kuat membawanya, karena ia hanya membawa satu keledai.
Penjaga mengatakan bahwa ‘barokah’ ini tidak akan memberatkan keledainya. Yunus berfikir, dan kemudian memutuskan bahwa ia memilih biji-bijian saja. Ia mengatakan bahwa penduduk kampungnya hanya meminta ia pulang dengan membawa biji-bijian. Maka ia meminta biji-bijian saja.
Mendengar hal ini, penjaga menemui Haji Bektasi. Haji Bektasi kemudian menawarkan pada Yunus kecil, bahwa untuk setiap genggam buah-buahan yang Yunus bawa, ia menawarkan ‘sepuluh barokah’ sebagai gantinya. Yunus dengan sopan tetap menolak. Ia hanya dikirim untuk membawa pulang biji-bijian, katanya tanpa sama sekali mengetahu apa sebenarnya ‘barokah’ itu. Pada akhirnya, Haji Bektasi memerintahkan untuk memenuhi keledai Yunus dengan biji-bijian yang banyak sekali, sebanyak si keledai kuat membawanya.
Haji Bektasi
Yunus kecil pun pulang dengan senang. ‘Betapa baiknya orang itu,’ pikirnya. Tapi di tengah perjalanan ia menjadi ragu, mungkin ‘barokah’ itu lebih berharga dari biji-bijian? Mungkin ia seharga emas? Kalau demikian mungkin ‘barokah’ akan lebih bermanfaat bagi penduduk kampung, pikirnya. Lalu ia pun kembali ke desa Bektasi, ingin menukar biji-bijian ini dengan ‘barokah’ saja.
Sesampainya di sana, kata Haji Bektasi, “Tapi nak, aku sudah tidak bisa memberikannya. Hakku memberi ‘barokah’ untukmu, membuka kunci dirimu, dan takdir untuk membimbingmu, baru saja aku kirimkan ke Taptuk Emre” (seorang murid Haji Bektasi, yang tidak seterkenal beliau).
Bertahun-tahun kemudian, takdir itu terjadilah. Yunus sekarang menjadi murid di tempat Taptuk Emre mengajar. Sampai suatu ketika, tanpa alasan yang jelas, Taptuk Emre menyuruhnya pergi. “Pergilah. Sudah saatnya kau ajarkan apa yang kau miliki kepada orang lain.”
Yunus tidak mengerti. Lagipula ia hanya seorang gembala, dan dengan demikian apa yang bisa ia ajarkan pada orang lain? Tapi ia pun pergi, dengan sangat sedih. Walaupun ia tidak memahami perintah gurunya ini, ia tetap mencoba taat pada guru yang sangat dihormatinya itu. Maka ia pun berkelana.
Dalam pengelanaannya, ia terus mendapatkan pengalaman-pengalaman spiritual, dan bertemu banyak orang, dan mulailah karya-karyanya tersebar lembar demi lembar hingga sampai di masa sekarang ini.
[terjemahan bebas dikutip dari dari ‘The Drop That Became The Sea: Lyric Poems of Yunus Emre’ by Kabir Helminski (trans.)]