Oleh Kuswandani Yahdin dan Herry Mardian, Yayasan Paramartha.
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampungmu,’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.”
: : : : : : : :
BISMILLAH ar-Rahman, ar-Rahim,
Semoga hamba bisa meminjam dua asma-Mu ya Rabb, semoga ini menjadi tulisan pengantar renungan kita semua. Better late than never….
‘Iedul Qurban, bersumber dari dua kata dalam bahasa Arab, “ied” dari kata ‘aada – ya’uudu, bermakna ‘kembali’. Qurban, dari kata qaraba–yaqrabu, bermakna ‘mendekat’. ‘Qarib’ adalah ‘dekat’, dan ‘Al-Muqarrabuun’ adalah ‘(hamba) yang didekatkan’.
‘Iedul qurban kemudian saya maknai sebagai sebuah hari dimana setiap kita belajar untuk kembali merenungi hal apa yang dapat membuat kita dapat mendekati Dia Sang Maha Lembut.
Banyak cara setiap hamba mendekati Allah (taqarrub ilaLlah). Salah satu caranya dengan mengorbankan sebagian hartanya yang ditukarnya dengan daging kambing atau sapi, dengan harapan Allah menarik mereka semakin dekat pada-Nya, menerima qurban mereka sebagaimana Allah menerima qurban-nya Habil sang putra Adam.
Tentu yang kita kurbankan adalah harta yang memang terasa berat untuk dilepas, bukan harta yang kita keluarkan dengan ringan hati, disebabkan masih sangat banyaknya sisa harta yang kita miliki. Artinya kita yang bergaji empat puluh lima juta rupiah perbulannya, dengan mengeluarkan dana hanya satu juta untuk seekor kambing bisa jadi belum disebut ‘berkurban’, karena tidak ada rasa pengorbanan yang membuat dia sulit mengeluarkannya. Bisa kita bayangkan bagaimana ‘rasa taqarrub‘ seorang Ibrahim a.s., atau Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang bisa mengurbankan ratusan ekor unta pada hari qurban-nya!
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (Al-Birr), sebelum kamu menginfakkan (tunfiquu) bagian (harta) yang kamu cintai (mimma tuhibbuun). Dan apa saja yang kamu infakkan (tunfiquu), maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q. S. [3] : 92).
Lihat juga [2] : 177 tentang ‘memberikan apa-apa yang dicintai (wa ‘aatal mala ‘ala hubbihi)’ untuk mencapai kebajikan.
Jika kita yang bergaji empat puluh lima juta rupiah perbulan, kemudian dikeluarkan satu juta rupiah setiap tahun sekali saja untuk ‘kurban’ kita, sarana transformasi jiwa kita, apakah itu sudah sampai pada tingkat ‘menginfakkan bagian yang dicintai’ sebagaimana tersebut dalam ayat di atas? Akan sampaikah kita pada Al-Birr?
Tentu logika pemikiran kita perlu diajak untuk memaknai, mengapa akhirnya kita mafhumi banyak sekali umat Islam, para saudara kita yang setiap tahun berhasil mengeluarkan sebagian dananya untuk berkurban, namun tidak ada apapun yang berhasil mereka peroleh dari penyisihan sebagian uangnya itu, selain hal tersebut lewat begitu saja dengan tidak membawa perubahan sedikitpun kedalam dirinya. Itu menunjukkan bahwa makna iedul qurban belum berhasil diperolehnya. Ketika kedekatan dengan Allah tidak bertambah, jiwa tidak menjadi semakin halus dan bersih, jasad tidak semakin beramal baik, padahal sebenarnya lewat ied itu mereka dapat menemukan bukan saja amal baik, tetapi bisa jadi Allah berkenan menuntun kepada amal shalih-nya masing-masing. Padahal, ‘Iedul Qurban, sebagaimana maknanya, juga merupakan sebuah pintu ke arah tangga transformasi diri seorang hamba untuk menjadi ‘Al-Muqarrabuun’.
Mungkin, karena kita belum berhasil menemukan makna iedul adha, sebagai nama lain dari iedul qurban itu sendiri. ‘Adha’ memiliki makna ‘penyembelihan’. Ada yang harus kita ‘sembelih’ di dalam diri kita ini pada setiap perayaan ‘iedul adha. Demikian pula, pada dasarnya, tidak menjadi soal apakah kita memiliki uang yang cukup untuk berkurban, atau tidak.
Ketika kita belum memilki kemampuan untuk menyisihkan sebagian dana yang kita miliki dalam rangka belajar ber-qurban, mengorbankan harta kita, untuk menyembelih hewan kurban, kita sebenarnya telah Allah beri kemampuan melakukan penyembelihan lain: menyembelih ‘kambing’, ‘sapi’, maupun ‘hewan ternak’ lain yang ada dalam diri kita : dominasi aspek hawa nafsu dan syahwat kita.
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampungmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya jikalah mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian adalah lebih baik bagi mereka, dan lebih menguatkan.” (Q.S. [4] : 66).
Sudah waktunya sekarang, pada saat kita memasuki pergantian tahun baru ini, pergantian perilaku yang baru ini, mari kita sama-sama belajar untuk ‘membunuh diri’ : belajar untuk menyembelih dominasi aspek kedengkian, aspek ketakaburan, aspek buruk sangka, aspek kemalasan, aspek keinginan pengakuan bahwa diri ini begitu berharga dimata orang lain, aspek kecintaan kita pada uang dan harta benda, dan segala aspek lainnya dalam diri kita yang memang perlu disembelih, untuk kemudian mempersembahkan hasilnya, yaitu diri kita yang telah ‘tersembelih’ dari aspek-aspek tersebut, kepada-Nya.
Sudah waktunya pula kita belajar untuk ‘keluar dari kampung’ kita : belajar untuk keluar dan memerdekakan diri dari dominasi jasadiyah terhadap jiwa kita yang sejati, dan belajar untuk keluar dari dunia fisikal dan jasadiyah ini. Masih ada dunia lain di luar ‘kampung’ kita ini.
“Sekali-kali tidaklah daging-daging unta dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan ketaqwaanmulah (yang dapat mencapai-Nya)… ” (Q.S. [22] : 37).
Bukan dagingnya, bukan darahnya, bukan uangnya. Ketaqwaan-nya, sahabat-sahabat. Mampukah kita ber-qurban atau ber-infaq hingga pada titik yang kita benar-benar merasa berat, karena kita mencintai qurban sejumlah itu?
Ah, memang tidak mudah menyembelih semua dominasi syahwat dan hawa nafsu ini. Untuk belajar menghargai waktu saja bukan hal yang sederhana, untuk belajar memaafkan orang lain pun juga bukan hal remeh, apalagi kita mencoba berjuang menemukan amal-amal shalih kita…
Tapi yang membuat saya pribadi senantiasa memiliki harapan kuat, karena Allah tidak pernah merasa bosan menerima dan menerima terus setiap penyesalan kita, setiap kesadaran diri yang lemah kita, setiap pengakuan dosa kita, setiap keinginan taubat kita. Semoga pengakuan ini menjadi tanda bahwa kita memang butuh dan selalu membutuhkan Dia Sang Maha Pengayom dan Pembuka Jalan. Semoga kita berhasil merayakan iedul qurban atau iedul adha kita dengan bersama-sama membangun kesadaran diri.
Ya Allah, semoga pengorbanan hamba demi taqarrub kepada-Mu Engkau terima, semoga Engkau beri pula hamba kekuatan untuk dapat menyembelih setiap dominasi hawa nafsu dan syahwat yang senantiasa menenggelamkan hamba….. duh Gusti.. ampuni hamba. []
: : : : : : : :
“Sekali-kali tidaklah daging-daging unta dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan ke-taqwa-anmulah.” (Q.S. [22] : 37).
0 comments On Sudahkah Kita Berkurban?
Benar mbak, 4: 66. Makasih mengingatkan, saya perbaiki deh. Thanks again.
Salaam.
Salam kenal Mas Herry,
saya sudah lama mengikuti blog ini. maaf, saya sekedar memastikan. “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu dan keluarlah dari kampungmu,”….tertulis QS 4: 46. setelah saya liat kok ada di QS 4: 66 ya? maaf mas, just wanna make sure it.
Salaam.
kalau Qurban hanyalah mencoba meringkus Yang Tak Terselami maka ia hanyalah hedonisme semu.:twisted: manusia makhluk yang selalu menimpakan tanggung jawabnya pada pada suatu yang transenden:evil:
http://tomyarjunanto.wordpress.com/2008/03/01/badan-asli-pambudidaya-amal-kebutuhan/
nikmatnya berkorban itu baru terasa setelah dilaksanakan, apalagi kalau dilandasi niat yang ikhlas lillahi ta’ala
bagus 🙂
sebelumnya mohon dimaafken, tiba-tiba kok terlintas ide gila di otak saya “bagaimana dengan orang-orang yang mencintai Allah, haruskah mereka mengorbankan-Nya ??” 🙄
bagus 🙂
sebelumnya mohon dimaafken, tiba-tiba kok terlintas ide gila di otak saya “bagaimana dengan orang-orang yang mencintai Allah, haruskah mereka mengorbankan-Nya ??” 🙄
Ke Pak Kuswandani atau ke saya ya? Silahkan melalui milis picts-info saja mas…
terimakasih 😉
Menarik sekali uraian anda. Boleh komunikasi secara pribadi? tolong email ke alamat saya ya….Terima kasih sebelumnya.
wasswrb ya Salik,
Top banget, sumpah top..
telat gw nemu ni blog 🙂 (jadi pengen ngebajak isinya 😛 buat tak posting, j/k )
Paramartha itu Mawlawiyah ya bro?
please let me know ur email or YM address…
bounce me back @ black_screamer_hc@hotmail.com
please bro 🙂
wasswrb,
semoga Syafaat Mursyid senantiasa melimpah pada para Salik disini…
Ketika diskusi dg seorang teman. Dia berandai-andai. Indonesia berpenduduk 180 juta muslim. Anggap saja satu keluarga ada 10 orang, maka ada 18 juta keluarga. 50%nya dhuafa, masih ada 9 juta keluarga. Dari 9 juta keluarga itu hanya 50%nya berkurban kambing, atau ada 4,5 juta ekor kambing yang disembelih di hari kurban jika satu kambing saja untuk satu keluarga. Ini untuk satu saat, bagaimana dengan hari-hari lainnya dalam satu tahun?. Lalu, bagaimanakah fakta sesungguhnya?:sad: