‘The Oracle’ : Sebuah Analogi Sederhana Untuk Memahami Sang Mursyid

Oleh Muhammad Sigit (Yayasan Paramartha), 1999.

‘The Oracle’ dalam ‘The Matrix I’. Ini bukan nama perusahaan software. Ini adalah nama seorang wanita tua di dunia Matrix. Ia hanyalah seorang tukang masak kue, gemuk, berkulit hitam, perokok, tingal di sebuah apartemen kelas bawah dan memiliki beberapa murid anak kecil. Di film itu pun, ia hanya muncul sekali. Dengan percakapan yang sederhana, dan mengalir begitu saja. Sama sekali tidak tampak kelebihan dalam dirinya. Tapi dialah sosok ‘mursyid’ di film ini.

Saya terus terang agak heran, bagaimana film ini bisa bercerita demikian detil. Termasuk penggambaran sosok mursyid yang lumayan akurat analoginya. Analogi for beginners ini bisa digunakan sebagai ilustrasi bila kita ingin mengetahui, seperti apa sih Mursyid itu, bagaimana dia membimbing kita, dan sebagainya.

Sewaktu di lift menuju ruangan The Oracle, Neo dan Morpheus sudah bercakap-cakap dengan menarik.

Neo: “Apakah Oracle ini adalah Oracle penubuwwah?”

Morpheus: “Ya, dia sangat tua. Dia sudah mengiringi kita sejak awal perlawanan.”

Neo: “Apa yang dia tahu? Segalanya?”

Morpheus: “Dia akan berkata, bahwa dia hanya mengetahui secukupnya.”

Neo: “Dan dia tak pernah salah?”

Morpheus: “Cobalah untuk tidak berpikir benar atau salah. She is a guide, Neo. Dia membantu kita untuk menemukan.”

Neo: “Dia menolongmu?”

Morpheus: “Ya”.

Neo: “Apa yang dikatakannya padamu?”

Morpheus: “Bahwa aku akan menemukan The One.”

Memang bila kita berhadapan dengan seorang mursyid, kita perlu menanggalkan sejenak parameter-parameter kita tentang benar dan salah menurut waham kita, karena itu bisa memerangkap kita. Kita ini seperti orang buta, sementara dia tidak buta. Bagaimana mungkin kita bisa menghakimi?

Sang mursyid pun, tidak akan mengindoktrinasikan kepada kita tentang hukum-hukum kebenaran atau kesalahan. Dia hanya membimbing, agar kita dapat mengenali kebenaran. Dia akan berusaha untuk menjadikan setiap kita sebagai aktor utama dalam kehidupan kita sendiri, bukan Sang Mursyid yang menjadi aktor utama.

Selanjutnya Neo pun memasuki apartemen milik Oracle dan menemukan banyak anak kecil yang sedang asyik bermain-main dengan ‘karomah’-nya. Ada yang main kubus yang seolah tak terikat hukum gravitasi. Ada pula yang sedang asyik membengkokkan sendok hanya dengan pikiran. Dikatakan, bahwa mereka adalah calon-calon potensial untuk menjadi The One. Saya lewati ini karena akan jadi tulisan terpisah.

Setelah menunggu sejenak, Neo pun diundang untuk ke dapur menemui The Oracle. Dia ternyata sedang asyik memasak kue.

Neo: “Apakah anda The Oracle?”

The Oracle: “Bingo. Tidak seperti yang kamu sangka bukan? Aku akan mempersilahkan kamu duduk, dan kau tak perlu khawatir tentang vas bunga itu”

Neo: “Vas apa?”

Ternyata tepat setelah itu Neo menyenggol vas bunga yang ada di sampingnya, hingga jatuh dan pecah. Kemudian Oracle berkata, “Vas yang itu.” Neo pun gugup, “I’m sorry.” The Oracle: “Sudah aku katakan jangan khawatir terhadap vas itu. Bagaimana kita bisa merubah sesuatu yang sudah ditetapkan?”

Istri saya paling senang dengan adegan ini. Istri saya geli melihat bagaimana cara seorang mursyid menunjukkan siapa dirinya. Karena Neo pada saat itu agak ragu, melihat Oracle yang ‘tampilan luarnya’ seperti itu. Tapi yang membuat saya menyimpulkan The Oracle-lah sang Mursyid dalam kisah ini, justru dari percakapan berikutnya yang saya sarikan sebagai berikut.

The Oracle: “Kamu tahu mengapa Morpheus membawamu ke sini?”

Neo pun mengangguk.

The Oracle: “So, what do you think? Do you think you are The One?”

Neo: “Honestly, I don’t know.”

The Oracle: “Aku akan beritahu kamu suatu rahasia. Menjadi The One adalah seperti jatuh cinta. Tak ada yang bisa memberitahumu, melainkan kamu sendiri yang tahu. So, you’re ready to know.

Neo: “Know what?”

The Oracle: “That I’m not going to tell you.”

Neo: “That I am not The One.”

Begitulah sang Mursyid. Dia tahu apa yang terbaik buat saliknya.

Oracle tahu, bahwa informasi Neo adalah The One telah membelenggu jiwanya. Sehingga tanpa sadar dia merasa spesial. Maka Oracle harus mematahkan waham tersebut dengan kalimat-kalimatnya yang menuntun. Neo sendirilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa dia bukan The One sebagaimana yang diyakini Morpheus. Dan kesimpulan ini penting bagi Neo, agar dalam menemukan kesejatiannya, tidak boleh terhambat oleh pandangan dan sikap orang lain, meski siapapun berhak untuk memandangnya seperti itu. Dan lepasnya ia dari belenggu faham The One adalah dirinya, hal ini justru membuatnya jadi bisa mengambil keputusan penting: siap berkorban untuk menyelamatkan Morpheus.

Mursyid pun membimbing saliknya secara personal. Dia tampil beda bagi setiap saliknya, sesuai dengan yang dibutuhkan bagi perjalanan sang salik. Seperti kata Morpheus setelah Neo keluar dari dapur, “Ingatlah, apa pun yang dikatakan Oracle kepadamu, itu hanya untuk dirimu sendiri.”

Mursyid tidak berperan seperti ustadz, mubaligh atau da’i. Bimbingannya tidak dibatasi oleh podium, pengajian maupun tulisan atau buku. Seorang mursyid benar-benar tidak merasa butuh untuk dikenal ataupun terkenal. Meski saliknya bisa ribuan jumlahnya, dia mampu membimbing mereka secara personal, person to person. Tentu dengan caranya. Sebagaimana Rasulullah Muhammad saw yang menjadi berlaku demikian kepada setiap sahabatnya.

Ya, begitulah kurang lebih gambaran interaksi salik-mursyid-salik di dunia tasawuf. Kepada Morpheus, Oracle berkata bahwa Morpheus akan menemukan The One. Dan dalam proses pencariannya selama bertahun-tahun, akhirnya Morpheus menemukan Neo, yang amat diyakininya sebagai The One. Oracle tak pernah menunjukkan langsung kepada Morpheus siapakah The One, dia hanya membimbing. Adalah suatu pencapaian bagi Morpheus ketika menemukan Neo adalah The One. Keyakinan ini penting bagi Morpheus untuk melakukan tugasnya.

Kepada Neo, Oracle justru memandu agar Neo meyakini sebaliknya, bahwa dia bukan siapa-siapa. Keyakinan ini penting bagi Neo untuk bisa melaksanakan tugasnya sebagai The One. Kepada Trinity, Oracle mengabarkan, bahwa ia akan jatuh cinta kepada The One. Trinity tampaknya tipikal wanita yang susah jatuh cinta, mungkin karena saking pintarnya (hackerwati). Sehingga bagi Trinity dasar keyakinannya adalah, siapa pun yang bisa membuatnya jatuh cinta, itulah The One.

Kepada setiap muridnya, apa yang dikatakannya bisa tampak tidak sama, walaupun pada akhirnya tujuan peruntuhan waham tersebut bisa sama. Setiap murid memerlukan ‘makanan’ yang berbeda-beda.


It’s a huge difference between knowing the path and walking the path

Dipikir-pikir, sebenarnya kita rugi besar kalau tak terbiasa menghayati proses. Justru nikmatnya hidup itu, adalah ketika munculnya kesadaran akan proses tersebut.

Kita mungkin sudah amat terbiasa berfikir akan pencapaian. Bila kita baca sirah nabawiyyah, yang kita tangkap adalah kemuliaan dan kebesaran Baginda Rasulullah Muhammad saw beserta keluarbiasaan para sahabatnya. Bagaimana mulianya akhlaq Rasulullah saw. Bagaimana adilnya beliau kepada istri-istrinya. Bagaimana beliau bisa hadir secara personal di setiap hati para sahabatnya. Bagaimana belau bisa mencetak para sahabatnya menjadi pribadi-pribadi luar biasa. Dan bagaimana pula pribadi-pribadi luar biasa itu berkiprah dalam sejarah Islam. Bila kita membaca sejarah Islam, yang kita tangkap adalah masa-masa keemasan peradaban Islam. Betapa dulu, Islam dipenuhi dengan orang-orang hebat, jenius, revolusioner sekaligus mulia akhlaqnya.

Itulah yang kita tangkap. Akibatnya, kini kita seperti memandang bintang-bintang di langit. Tak terjangkau. Hanya bisa berharap (sambil ragu) akan kembalinya masa-masa itu. Di satu sisi kita (berusaha untuk) yakin dengan janji Allah, di lain sisi kita menemukan fakta betapa jauhnya kita.

Pola Hollywood, di mana segalanya berakhir happy ending, penonjolan figur-figur sentral yang dominan dan remehnya figur-figur lain di sekelilingnya, mungkin terlalu melekat di benak kita. Sehingga mempolakan model kehidupan tersebut dalam diri kita. Semua kita bersaing untuk menjadi yang “ter”. Padahal surga akan kita raih ketika kita telah menjadi diri kita sendiri sepenuhnya.

Kita jadi kurang menghargai proses. Terlalu terbiasa memandang bintang di langit, padahal bintang itu juga ada dalam qolb kita.

Padahal kalau kita menghargai proses dan mensyukurinya, maka seperti kata Allah, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. 14:7)

Masing-masing kita bisa menjadi yang terbaik, dalam bidang kita masing-masing. Setiap kita diciptakan untuk sebuah tujuan yang spesifik, bukan sekedar tujuan umum yang general. Masing-masing kita harus menemukan pada wilayah apa kita bisa menjadi yang terbaik, karena setiap orang diciptakan untuk ‘apa yang dijadikan Allah mudah baginya.’ (Al-Hadits).

β€œSetiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)


Menghayati dan menikmati proses

The Matrix pun bercerita tentang Neo yang berproses. Dari seorang yang terlelap di dunia Matrix, kemudian menjadi seorang hacker, kemudian memilih mempercayai Morpheus dan akhirnya meminum pil merah dan terbangun dari mimpinya. Ia menyaksikan bahwa ternyata ada kehidupan yang lebih sejati, lebih nyata, dari kehidupan yang selama ini ia pikir adalah sebuah ‘kenyataan’.

Setelah hidup di alam real (Nebuchadnezar) pun, Neo masih terus berproses. Mengikuti training simulation, meraih pengetahuan dari The Oracle dan muridnya yang lain, dan kemudian mengamalkan pengetahuan tersebut. Bahwa Neo adalah The One, dia berproses dari (1) sekedar waham (persangkaan). Kemudian (2) peruntuhan waham tersebut (peng-nol-an). Lalu (3) beramal sholeh sebagai The One.

Pada posting terdahulu, sudah terjelaskan proses yang terjadi pada poin (1) dan (2), dimana proses peng-nol-an terjadi. Proses peng-nol-an ini adalah kunci, yang bila dilakukan akan menampakkan hakikat diri seseorang. Dalam tasawuf, dikenal dengan istilah fana. Bayangkan sebuah studio rekaman, di mana semua komponen lagu seperti vokal, suara gitar, suara synthesizer, suara perkusi dan sebagainya, direkam terpisah untuk kemudian di mix (dicampur) ke dalam satu pita rekam tunggal. Bila kita ingin mengidentifikasi mana di antara itu semua suara yang datang dari simbal, tinggal kita nolkan semua suara selain simbal. Tentu ini semua hanya bisa kita lakukan di studio rekaman. Selagi kita masih berupa kaset, jangan berharap.

Sewaktu akan menyelamatkan Morpheus, Neo sudah sampai pada poin (2). Dia sudah menyadari, bahwa baginya dia itu bukan siapa-siapa. Dan dalam kondisi seperti itu, ternyata ia mampu menyelamatkan Morpheus. Padahal langkah tersebut, bagi Tank dan Trinity adalah langkah bunuh diri.

Neo bisa berbuat seperti itu karena dia beramal dalam kondisi nol (fana). Dan karena Neo memang sejatinya adalah The One, maka ketika dia fana muncullah sosok The One dalam dirinya.

Itulah adegan penyelamatan Morpheus. Dan di akhir adegan ini ada kalimat Morpheus yang penting sekali bagi kita. Waktu Neo ingin memberitahu, bahwa dari Oracle dia mengetahui bahwa dia itu bukan siapa-siapa, Morpheus menyela, “She told you exactly what you need to hear. That’s all. Neo, sooner or later you going to realize it:

It’s different between knowing the path and walking the path.”

Wassalamu’alaykum wr. wb.

[]

P.S.: sebagai tambahan, ada baiknya juga membaca artikel ‘Mursyid, Salik, dan Thariqah di sini.

** Catatan: The Matrix II dan III tidak bisa dianalogikan dengan kesulukan. Penulis di atas (M. Sigit) hanya mengisahkan film ini sebagai analogi sederhana untuk memudahkan pemahaman interaksi hubungan salik-mursyid yang sangat kompleks.

0 comments On ‘The Oracle’ : Sebuah Analogi Sederhana Untuk Memahami Sang Mursyid

Leave a reply:

Your email address will not be published.