PERNAH pada suatu ketika, ada seorang penjahat kejam yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Suatu hari, dia mendatangi seorang guru agama dan mengatakan bahwa dia ingin mengubah hidupnya, sebagai taubat atas segala kesalahannya. Guru itu menjawab bahwa ia sudah tidak mungkin lagi diampuni karena dosanya sudah ‘keterlaluan’. Dengan sangat marah penjahat itu mengatakan, kalau memang dosanya tidak bisa diampuni, ia sekalian saja membunuh guru itu. Dan ditebasnyalah leher guru agama itu.
Ketika itu saya dibuat merenung, waktu menyadari bahwa kata “Islam” bermakna keberserahdirian, berasal dari kata “aslama” yang bermakna ‘“berserah diri’” atau ‘“sepenuhnya tunduk’.”. Kata ini bukan berfungsi sebagai identifikator untuk membedakannya dengan agama lain—agama itu tidak dinamai Diinul-Muhammadi, Muhammadian atau Muhammadanisme. Kata ini, yang saya yakini sungguh dalam maknanya, ternyata berfungsi untuk menerangkan jati diri agama yang dinamainya itu.
Apabila kau hendak bertawakkal, bertawakkallah pada-Nya dengan amal! Tebarkan benih, lalu serahkanlah pada Yang Maha Kuasa!
Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cinta kepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepada filosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepada Tuhan… Apakah isi, atau esensi, dari cintamu itu? Kau bilang itu cinta suci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama… Apakah benar begitu, anakku?
DI tahun-tahun terakhir hidupnya, Arthur Schopenhauer, filsuf yang menjadi inspirator Nietzsche, sering makan malam di sebuah hotel di Frankfurt yang sering dipenuhi tentara Inggris. Setiap sebelum makan, dia akan menaruh sekeping koin emas di meja, dan selesai makan, dia akan mengambil dan memasukan koin itu ke saku. Kebiasaan aneh tersebut menggelitik seorang pelayan untuk menanyakannya. Schopenhauer menjelaskan bahwa dia membuat sedikit taruhan dengan dirinya sendiri: bila tentara-tentara Inggris tersebut berbicara apa pun selain kuda, anjing, dan perempuan, maka Schopenhauer akan memasukkan koin tersebut ke kotak amal. Begitulah dunia keseharian manusia. Inilah yang merangsang Martin Heidegger sehingga memikirkan ihwal proses kejatuhan manusia secara eksistensial: terperangkapnya manusia ke dalam dunia umum atau dunia keseharian yang bersifat common-sense.
“About the path that you shall take, don’t be exaggerated. Lead life with simplicity, don’t be arrogant if you talk, and don’t over act in front of other human beings. That is the true path. To meditate on the mountain or in the cave only creates vanity. True meditation is in the middle of the crowd. Be noble and forgive people who make mistakes. This is the only true path” (Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunang Jati, Naskah Mertasinga, in Sajarah Wali. Wahjoe: Pustaka, 2005)