Visi Buku: “Cinta Bagai Anggur”

cover CBA kecil
Judul: “Cinta Bagai Anggur” / Karya: Syaikh Muzaffer Ozak, dikompilasikan oleh Syaikh Ragip Frager / Alih bahasa: Nadia Dwi Insani, Herry Mardian, Herman Soetomo / Tata letak dan Ergonomi Pembacaan: Bambang Setyadi Machmud / Penerbit: Pustaka Prabajati / Status: naik cetak sudah terbit
 
Oleh Herry Mardian.

PADA periode akhir sembilan puluhan, saya baru menyadari bahwa istilah “Islam” bukanlah sekadar sebuah label penamaan, seperti misalnya kata “Sudirman” ketika digunakan semata-mata untuk mempermudah pengidentifikasian sebuah jalan. Tidak ada keterkaitan antara makna kata “Sudirman” dengan jati diri sebuah jalan beraspal yang menyandang namanya itu. Demikian pula, kata “Sudirman” sama sekali tidak mengandung apa pun yang bisa menerangkan perihal jalan itu.

Ketika itu saya dibuat merenung, waktu menyadari bahwa kata “Islam” bermakna keberserahdirian, berasal dari kata “aslama” yang bermakna “berserah diri” atau “sepenuhnya tunduk”. Kata ini bukan berfungsi sebagai identifikator untuk membedakannya dengan agama lain—agama itu tidak dinamai Diinul-Muhammadi, Muhammadian atau Muhammadanisme. Kata ini, yang saya yakini sungguh dalam maknanya, ternyata berfungsi untuk menerangkan jati diri agama yang dinamainya itu.

Tapi kata adalah kata. Mendengar kata “manis” tidak membuat kita mengalami manis maupun mengerti apa itu manis. Belum lagi, seberapa manis? Jadi, jika esensi Islam adalah berserah diri, apa itu “berserah diri”? Seperti apa? Apa yang membedakannya dengan, misalnya, “pasrah”? Ketika itu, saya ingin mengerti nama agama saya dengan lebih akurat dan presisi. Pengertian istilah yang menjadi namanya itu, bagi saya, bisa menjadi kunci untuk memahami agama saya ini dengan benar, apa adanya dan tanpa distorsi.

Maka pergilah saya ke sebuah kota di Jawa Barat, menemui seorang sufi di sana. Saya hanya membawa satu pertanyaan: apa ‘“berserah diri’” itu sebenarnya. Beliau, setelah menerima saya dengan sangat baik dan bertanya apa yang bisa beliau bantu untuk saya, mengangguk-angguk setelah saya mengutarakan pertanyaan itu, satu-satunya maksud kedatangan saya. Dan jawaban beliau ketika itu—dengan sungguh-sungguh, “Seandainya saja arti keberserahdirian bisa diterangkan dengan kata-kata, sudah sejak dulu sekali saya menerangkannya.”

Tidak ada susunan kata-kata yang mampu menjelaskan keberserahdirian, istilah yang menamai sebuah cara menempuh kehidupan yang diwahyukan Allah kepada junjungan Muhammad s.a.w.. Seseorang hanya bisa mengerti apa makna sebuah keberserahdirian jika ia telah diijinkan Allah untuk mengalaminya. Keberserahdirian adalah sebuah kondisi diri yang hanya bisa dirasakan, bukan dilisankan. Dan agama Islam, agama keberserahdirian kepada Allah, adalah sebuah metode yang dibawa Rasulullah untuk mendudukkan manusia dalam kondisi itu, titik ketika seseorang sudah sepenuhnya menjadi seorang hamba Allah.

Seperti itu pula, semakin kita mempelajari dan mendalami jalan hidup yang dibawa Rasulullah, semakin banyak pula kita menemukan poin-poin penting yang, meski sangat mudah untuk dilisankan, namun sulit untuk diterangkan. Kesabaran, misalnya. Apa sebenarnya “sabar” itu? Bagaimana menerangkan “sabar”?

Ketika Allah memerintahkan siapa pun yang ingin meraih kebenaran sejati untuk senantiasa sabar, syukur, ikhlas, dan tawakkal, maka pada hakikatnya ini juga berarti bahwa mereka harus “mengalami” sabar, syukur, ikhlas, dan tawakkal. Ini tidak melulu berarti bahwa ia harus membaca atau bertanya tentang itu terlebih dahulu.

Seseorang yang telah masuk ke dalam pendidikan Allah ta’ala, jika Allah menghendaki ia memiliki sifat sabar, misalnya, maka Allah—karena kemahakuasaan-Nya—akan ‘“memakaikan padanya jubah kesabaran’”, dan ini sama sekali terlepas dari suka atau tidaknya orang tersebut terhadap prosesnya. Ini artinya, jika Allah menghendaki seorang hamba untuk memiliki sifat sabar, maka Allah—secara paksa atau sukarela—akan merancang kehidupannya sedemikian rupa sehingga akan merangsang tumbuhnya kesabaran sejati dalam diri orang tersebut. Demikian pula untuk kebaikan-kebaikan lainnya, yang memang dikehendaki-Nya untuk dimiliki seseorang.

Inilah keunikan buku ini. Kekhasan Syaikh Muzaffer Ozak dalam menerangkan tentang cinta, kesabaran, kepemurahan, pendidikan sufi dan semacamnya kepada para pendengarnya di Amerika tidaklah berbentuk doktrin dan definisi—bisa jadi itu adalah tugas hamba Allah yang lain setelah beliau. Sebagaimana semua mursyid lain yang pernah ada, jika Allah memang telah menghendaki seorang muridnya untuk memiliki suatu kebaikan, misalnya sifat sabar, maka sang mursyid semata-mata hanya menjadi alat Allah untuk membuat muridnya “mengalami kesabaran”. Ia bisa merancang sebuah pengalaman nyata bagi si murid untuk dibuatnya “menelan kesabaran”, atau berdoa kepada Allah supaya membentuk kehidupan muridnya itu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menumbuhkan kesabaran.

Akan tetapi, ketika mengunjungi Amerika Syaikh Muzaffer Ozak tidak hanya memberi pengajaran pada para muridnya, namun juga kepada masyarakat awam yang baru tertarik, atau ingin tahu tentang Islam maupun tashawwuf. Maka, bagaimana cara beliau untuk memberikan sense tentang kesabaran, keberserahdirian, atau cinta, misalnya, kepada para pendengarnya? Ia menerangkan kesabaran melalui kisah-kisah ketika sebuah episode kehidupan sedang dibuat-Nya “mencekokkan kesabaran” kepada seorang hamba Allah, alih-alih melalui definisi atau doktrin-doktrin tentang sabar. Sedemikian rupa sehingga para pendengar umum masih mampu “menangkap” seperti apa makna kesabaran yang dimaksudkan dalam Islam dan tashawwuf.

Itulah isi buku ini. Ada sebelas bab yang mengulas tentang tashawwuf, cinta, keyakinan, pendidikan sufi, sampai pada masalah godaan dan kepemurahan. Semuanya merupakan topik-topik penting dalam jalan Islam dan tashawwuf, yang akan menjadi pembahasan yang sangat sulit dan membosankan seandainya semua itu diterangkan melalui teori dan definisi.

Melalui lisan Syaikh Muzaffer Ozak, pembahasan itu menjelma menjadi kisah-kisah teladan yang sangat indah dan begitu menyentuh, sehingga siapa pun, bahkan mereka yang baru mulai belajar tentang Islam, akan mampu menangkap seperti apa esensi dari istilah-istilah seperti “pendidikan sufi”, “pengetahuan diri”, “Al-Qur’anul Karim’” dan semacamnya. Seluruh kisah dalam buku ini merupakan tradisi lisan yang terus diriwayatkan turun-temurun dari seorang guru sufi kepada para muridnya, dan telah berlangsung sepanjang ratusan tahun lamanya.

Sebagaimana di Amerika, buku ini pada akhirnya berfungsi sebagai sebuah buku pengantar yang sangat baik untuk memahami agama, memahami esensi Islam maupun tashawwuf. Kisah-kisahnya—yang disampaikan dengan indah—mampu membuat pembaca langsung menangkap makna, tanpa perlu berkutat terlalu lama di wilayah doktrin dan definisi.

Atas dasar pertimbangan itulah maka Pustaka Prabajati, yang bercita-cita mengangkat karya-karya yang mengantarkan pembaca pada pengenalan diri sejati, menerbitkan buku ini.

Sudah sejak tahun 2000 saya berkali-kali membaca ulang buku ini. ‘Love is The Wine’ merupakan salah satu buku yang paling dalam jejaknya dalam kehidupan saya. Kisah-kisah di dalamnya sungguh sangat indah dan menyentuh. Itulah sebabnya saya begitu bersenang hati ketika dewan redaksi Pustaka Prabajati meminta saya, bersama Mas Herman Soetomo, untuk memeriksa, menyunting ulang dan memperbaiki akurasi istilah dan rasa bahasa untuk versi Bahasa Indonesia dari buku Syaikh Muzaffer Ozak ini. Terlebih lagi ketika saya juga dipercaya untuk menuliskan visi buku ini kepada para pembaca.

Saya sungguh-sungguh mengucapkan ini kepada anda: selamat menikmati buku ini.

Herry Mardian

: : : : : : : :

CBA cover front
CBA cover back

(desain kover: kolaborasi Herry Mardian dan Pepi Saepudin)

0 comments On Visi Buku: “Cinta Bagai Anggur”

Leave a reply:

Your email address will not be published.